Jangan bertanya tentang agama kepada orang lain … itu tabu
Pada waktu saya tinggal di Amerika, suatu saat sepupu saya mengatakan bahwa ada beberapa hal yang tidak boleh ditanyakan jika bertemu dengan orang di Amerika, seperti umur, status, dan juga termasuk agama. Sepanjang pengetahuan saya, pertanyaan “apakah agama-mu” adalah merupakan pertanyaan yang jamak dan lazim di Indonesia, apalagi negara Indonesia berdasarkan Pancasila, dimana sila pertama adalah “Ke-Tuhanan yang Maha Esa.”. Setelah saya pikir-pikir, orang di Amerika dan mungkin di negara yang lain tidak begitu senang kalau ditanya tentang agama mereka, karena itu adalah masalah yang pribadi. Kedua, ada kemungkinan mereka sebetulnya bisa mengatakan saya tidak beragama.[1] “Tidak beragama” mulai melanda banyak negara maju, sejalan dengan perkembangan teknologi dan ekonomi, dimana banyak orang merasa tidak membutuhkan Tuhan. Juga di negara komunis, agama disebut “candu masyarakat.”[2]
Dalam artikel ini akan dicoba untuk menjawab pertanyaan yang begitu mendasar, yaitu “mengapa kita musti percaya kepada Tuhan? Dan kalau kita percaya, Tuhan yang mana yang harus kita percayai? Apakah banyak tuhan ataukah Tuhan yang esa?…. Mungkin ada banyak orang di Indonesia yang tidak pernah terlintas untuk memikirkan atau mencoba untuk menjawab pertanyaan ini. Hal ini disebabkan karena agama sudah mendarah daging di dalam masyarakat Indonesia. Untuk mempertanyakan hal ini kepada orang tua, mungkin ada rasa jengah. Bertanya kepada guru atau pastor, takut dikira tidak punya iman. Namun pertanyaan mendasar seperti ini patut diberikan jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan, karena manusia pada dasarnya mempunyai kodrat untuk “ingin tahu“.
Membuktikan keberadaan Tuhan dengan dasar filosofi dari St. Thomas Aquinas.
Dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana dengan menggunakan akal budi – melalui pendekatan filosofi[3] – dapat ditarik kesimpulan bahwa kepercayaan kepada Tuhan yang satu adalah kepercayaan yang sangat logis. Sebaliknya, kalau seseorang tidak percaya akan Tuhan yang satu, bisa dibilang bahwa itu melawan akal budi.[4] Tidak ada pertentangan antara iman dan akal budi. Teologi sendiri dapat didefinisikan sebagai “iman yang mencari pengertian atau faith seeking understanding.”[5] Paus Yohanes Paulus II berkata “akal budi dan iman adalah seperti dua sayap dimana roh manusia naik untuk mencapai kontemplasi kebenaran.”[6] Akal budi ini sudah menjadi bagian integral manusia, yang mempunyai kapasitas untuk menginginkan pencapaian suatu kebenaran.[7] Untuk membuktikan kebenaran akan eksistensi dari Tuhan, maka St. Thomas Aquinas di dalam bukunya “Summa Theology,”[8] memberikan lima metode, yang terdiri dari: 1) prinsip pergerakan, 2) prinsip sebab akibat, 3) ketidakkekalan dan kekekalan, 4) derajat kesempurnaan, dan 5) desain dunia ini.
Bukti 1: Prinsip pergerakan.
Mari sekarang kita meneliti pembuktian pertama, yaitu dari pergerakan.[9] St. Thomas mengambil contoh dari pergerakan, karena pergerakan terjadi dimana saja, kapan saja, dan bisa diamati dalam kejadian sehari-hari. Sebagai contoh, pada waktu mobil saya mogok, tetap bisa bergerak karena mobil saya ditarik oleh mobil derek. Namun mobil derek ini bisa bergerak karena adanya koordinasi sistem mesin yang begitu rumit. Walaupun demikian, mobil tidak akan bergerak, kalau tidak ada tangan manusia yang memasukkan kunci dan “menstarter” mobil itu. Tangan digerakkan oleh sistem kerja tubuh yang melibatkan miliaran sel, dimana dikoordinasikan oleh otak. Namun siapa yang menggerakkan otak? Karena ada kehidupan, ada jiwa yang tinggal di dalam tubuh manusia. Siapa yang membuat kehidupan dan jiwa tetap bertahan… dan seterusnya, sampai ada suatu titik, kita dapat mengambil kesimpulan ada “unmoved mover” atau penggerak yang tidak digerakkan oleh yang lain, karena Dia adalah sumber dari pergerakan itu. Sumber pergerakan inilah yang dinamakan “Tuhan”.
Bukti 2: Prinsip sebab akibat.
Pembuktian ke dua adalah dari “Prinsip sebab akibat.” Semua orang di dunia ini tahu kalau sesuatu terjadi dikarenakan oleh sesuatu. Prinsip ini begitu sederhana, sehingga bayipun dapat menerapkan prinsip ini. Bayi tahu kalau dia lapar, maka dia akan menangis. Dia tahu bahwa tangisannya akan menyebabkan ibunya datang dan kemudian menyusui dia. Ibu ini mau menyusui anaknya, walaupun kadang terjadi pagi-pagi buta, karena dia menyayangi anaknya. Dia sayang, karena anak itu lahir dari rahimnya, dan terjadi karena buah kasih sayang dengan suaminya. Komitmen untuk membentuk rumah tangga dikarenakan keinginan untuk mendapatkan kebahagian. Dan kebahagiaan, kalau ditelusuri terus-menerus akan sampai pada suatu titik, yang disebabkan oleh “uncaused cause” atau penyebab yang tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain. Sumber dari penyebab inilah yang disebut orang “Tuhan“.
Dari pembuktian pertama dan kedua, orang bisa mengatakan bahwa “tapi sesuatu bisa terjadi tanpa batas“. Namun keberatan ini dapat disanggah dengan membagi semua pergerakan dan semua sebab akibat menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah “saat ini (current movement/change).” Bagian ke dua adalah deretan yang terhingga dari gerak dan sebab, atau yang disebut “bagian tengah / inter-mediate cause(s)“. Dan kemudian bagian yang terakhir adalah “bagian awal / first mover / causel“. Nah, bagian awal inilah yang disebut “Tuhan, Sang Alfa.”
Bukti 3: Dari prinsip ketidakkekalan dan kekekalan.
Kemudian pembuktian yang ketiga adalah “dari mahluk yang bersifat sementara (contingent beings) dan yang kekal (necessary beings)“. Di dunia ini, tidak mungkin semuanya bersifat sementara, karena kalau demikian maka ada suatu waktu semuanya akan lenyap. Bayangkan orang tua kita cuma hidup sekitar 80 tahun. Terus kakek kita mungkin 90 tahun. Kakek dari kakek kita mungkin 100 tahun. Mau berapa panjang usia nenek moyang kita, mereka toh pada akhirnya telah meninggal. Jika ditelusuri terus, maka garis keturunan kita akan sampai pada manusia pertama. Pertanyaannya adalah, bagaimana manusia pertama itu bisa ada dan hidup? Tidak mungkin dia terjadi begitu saja dari ketidak-adaan. Sebab sesuatu yang tidak ada tidak mungkin menghasilkan sesuatu yang ada/nyata. Jadi disimpulkan bahwa kalau semua mahluk tidak kekal, maka harus ada “Mahluk lain” yang keberadaannya kekal[10] dan tidak mungkin hilang. KekekalanNya membuat mahluk yang tidak kekal terus bertahan dan memenuhi bumi, sehingga kehidupan tidak punah. Kekekalan yang tidak disebabkan oleh yang lain inilah yang disebut “Tuhan, Sang Kekal.”[11]
Bukti 4: Derajat kesempurnaan.
Pembuktian ke empat adalah dari sisi “derajat kesempurnaan.” Kalau kita amati, semua yang ada di dunia ini ada tingkatannya. Ada yang miskin, kaya, konglomerat. Kasih, kebajikan, kebaikan, keindahan, kebenaran, semuanya ada tingkatannya. Peribahasa “kasih anak sepanjang galah dan kasih ibu sepanjang jalan,” secara tidak langung menunjukkan ada tingkatan dan derajat kasih. Jadi, kalau semua ada tingkatannya, tentu ada yang paling tinggi tingkat kesempurnaanya. Jadi, semua tingkatan berpartisipasi dalam sesuatu yang tingkatannya paling tinggi. Sebagai contoh, kalau kita menaruh besi di dalam api, maka besi itu menjadi panas. Namun panasnya besi bukan karena akibat dari besi itu sendiri, melainkan karena partisipasi besi itu dalam api.
Contoh di atas membuka suatu prinsip yang sangat penting, yaitu “seseorang atau sesuatu tidak dapat memberi apa yang dia tidak punya.” Air dingin tidak bisa membuat besi menjadi panas, karena air dingin tidak mempunyai sifat panas. Semua yang ada di dunia ini tidaklah sempurna, namun semuanya ada karena partisipasi dalam sesuatu yang tingkatannya paling tinggi, dan yang tingkatannya paling tinggi inilah yang di sebut “Tuhan, Sang Maha Sempurna.”
Bukti 5: Dari desain dunia ini dan tujuan akhir.
Pembuktian yang terakhir adalah dari sisi “desain dunia ini dan tujuan akhir“. Ini adalah sesuatu yang dapat dibuktikan di dalam hidup kita sehari-hari. Kita setiap hari melihat jalan setapak, jalan raya, dan juga jalan layang. Apakah mungkin kalau kita mengatakan bahwa jalan itu memang ada dengan sendirinya, tanpa ada yang mendesain dan membangun. Bagaimana dengan desain rumah, desain tata kota, dll. Semua terjadi karena ada yang mendesain dan tidak mungkin terjadi dengan sendirinya. Kalau kita percaya bahwa rumah kita tidak terjadi dengan sendirinya, namun didesain oleh diri sendiri atau seorang arsitek, apakah kita dapat menyangkal bumi ini, sistem grafitasi, dan juga sistem tata surya terjadi dengan sendirinya? Apakah mungkin kita berpendapat bahwa pergerakan planet-planet dan bintang-bintang, yang semuanya berjalan dengan keharmonisan tertentu dikarenakan karena faktor kebetulan? Desain alam semesta ini jauh lebih rumit daripada desain rumah kita. Kalau kita percaya akan arsitek yang mendesain rumah kita, maka kita harus percaya bahwa ada arsitek tata surya ini, yaitu Tuhan. Kalau kita lebih percaya bahwa semuanya terjadi secara kebetulan, maka ini adalah argumen yang tidak mungkin, karena kemungkinan bahwa semua itu terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang mengatur adalah bisa dibilang “tidak mungkin.” Sama halnya seperti kalau kita bilang bahwa rumah saya terjadi secara kebetulan tanpa ada yang merencanakan dan menbangunnya.
Bagaimana dengan mahluk yang tidak berakal budi, seperti tumbuhan dan binatang. Mereka mempunyai suatu pola dalam hidup mereka. Siapa yang mengatur kehidupan mereka? Hukum alam? Namun siapa yang mengatur hukum alam? Hanya mahluk rasional yang mungkin mengatur sesuatu yang punya aturan tertentu dan menuju ke suatu tujuan tertentu.
Contoh lain adalah gravitasi bumi, dan pergerakan tata surya yang mempunyai nilai tertentu dan tetap sepanjang sejarah. Jika nilai- nilai tersebut berubah sedikit saja, maka kacaulah segala planet di tata surya ini. Maka jelaslah bahwa semua yang bergerak dan beroperasi menurut urutan tertentu akan bergerak untuk mencapai tujuan akhir. Jadi dapat disimpulkan bahwa ada “Mahluk Rasional” yang memelihara dan mengarahkan semua yang ada di alam ini ke tujuan akhir. Inilah yang disebut “Tuhan, Sang Omega.” Dengan demikian lebih logis dan lebih mungkin, kalau kita percaya bahwa ada sesuatu yang mengatur sistem alam semesta, yaitu Tuhan Sang Pencipta.
Kemudian, variasi dari demonstrasi ke lima ini adalah dari sisi “aturan moral.” Kalau di atas kita melihat bagaimana Tuhan mengatur mahluk yang tidak berakal budi dengan “hukum alam“, maka berikut ini adalah demontrasi yang menunjukkan bahwa Tuhan juga mengatur mahluk yang berakal budi, yaitu manusia melalui “hukum moral.” Kalau kita teliti lebih jauh, manusia dengan latar belakang, kebangsaan, suku, ras yang berbeda, diatur oleh suatu hukum yang dinamakan hukum moral yang secara alami tertulis di dalam hati nurani manusia.[12] Hukum moral inilah yang membuat manusia dapat membedakan antara yang baik dengan yang jahat. Hukum ini bersifat obyektif, dan mengikat manusia secara universal. Kita bisa melihat bagaimana aturan baku di semua negara: anak harus menghormati orang tua, seorang ibu mengasihi anaknya, seseorang akan merasa tidak enak hati kalau membalas kebaikan dengan kejahatan, dll. Kalau orang melawan hukum universal ini, maka dia sebenarnya melawan hati nuraninya sendiri.
Kata “hukum atau aturan” pada dasarnya adalah sesuatu yang terjadi karena tuntutan akal (dictate of reason) yang dibuat untuk kepentingan umum oleh seseorang yang mempunyai otoritas. Misalnya, kalau peraturan lalu lintas adalah peraturan dengan alasan yang logis untuk keselamatan pengendara, yang dibuat oleh pihak kepolisian lalu lintas. Dengan menerapkan prinsip “sebab akibat“, kita tahu bahwa hukum moral yang tertulis di setiap hati nurani manusia tidaklah terjadi dengan sendirinya, namun diberikan oleh Sang Pemberi Hukum yaitu: “Tuhan, Sang Maha Adil.” Jadi hukum moral ini juga dapat membuktikan keberadaan Tuhan, yang memberikan aturan yang tertulis di dalam hati manusia untuk kepentingan umum.
Ok. Sekarang saya percaya kepada Tuhan, tapi satu Tuhan atau banyak tuhan?
Dari lima pembuktian ini, mungkin ada orang yang mengatakan. Ok, saya percaya ada Tuhan, tapi saya juga percaya ada banyak tuhan. Untuk menjawab hal ini, kita melihat pada pembuktian ke-empat, yang menujukkan tidaklah mungkin kalau ada banyak tuhan, karena kalau banyak, pasti yang satu lebih atau kurang dari yang lain. Padahal, kalau Tuhan itu adalah “Maha secara absolut”, maka hanya dapat disimpulkan bahwa “Tuhan itu adalah Satu atau Esa“.
Keputusan untuk percaya kepada Tuhan yang Satu adalah keputusan yang paling logis.
Dari semua pembuktian di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa lebih logis kalau kita percaya Tuhan daripada sebaliknya. Kelogisan ini berlanjut dengan kepercayaan kita kepada Tuhan yang Satu dan Kekal. Jadi sebenarnya dapat dikatakan bahwa dasar pertama dari Pancasila – keTuhanan yang Maha Esa – adalah sangat logis dan mendasar. Di dalam tulisan yang akan datang, kita akan menelusuri lebih jauh tentang siapa Tuhan yang Satu itu. Dan pertanyaan itu akan mengarah kepada “Yesus Kristus, Sang Sabda Kehidupan “.
Sumber : http://katolisitas.org/2008/06/10/bagaimana-membuktikan-bahwa-tuhan-itu-ada/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar