Jumat, 26 November 2010

Siapa saja yang dapat diselamatkan ?


Memang masalah keselamatan adalah masalah yang begitu sulit, namun begitu penting. Setiap agama mempunyai konsep tentang keselamatan sendiri-sendiri. Dan konsep keselamatan dari Gereja Katolik berbeda dengan gereja Protestan, dan antara denominasi Kristen kadang juga memberikan konsep yang berbeda. Mari kita melihat konsep keselamatan yang diberikan oleh Gereja Katolik, sebuah konsep keselamatan yang begitu baik dan menyeluruh.
I. Konsep dan Prinsip
  1. Keselamatan, baik sebelum, pada waktu, dan setelah kedatangan Kristus mengalir dari misteri Paska Kristus: penderitaan, kematian, kebangkitan, dan kenaikan Kristus ke Sorga. Karena dengan misteri Paska Kristus, Kristus telah menyelamatkan seluruh umat manusia dan Kristus menjadi sumber dari semua berkat yang mengalir ke seluruh umat manusia. Jadi kalau orang yang tidak mengenal Kristus diselamatkan, itu karena jasa Kristus.
  2. Setiap orang, baik sebelum kedatangan Kristus, pada saat Kristus hidup, maupun setelah kedatangan Kristus diberikan berkat (grace) yang cukup untuk dapat menuju tujuan akhir atau Surga. Hal ini dikarenakan bahwa manusia secara kodrat mempunyai kemampuan untuk mengenal dan mengasihi penciptanya, yaitu Tuhan. Jadi dengan hanya mengandalkan akal budi, manusia dapat mengetahui akan keberadaan Tuhan yang satu, seperti yang saya tuliskan di artikel “Bagaimana membuktikan bahwa Tuhan itu ada“. Jadi kalau sampai seseorang tidak masuk surga, itu adalah karena kesalahan sendiri dan bukan karena kesalahan Tuhan (Tuhan tidak mungkin salah).
  3. Allah adalah kasih dan adil. Dengan kasih-Nya dan belas kasih-Nya, Dia menginginkan semua orang untuk masuk dalam kerajaan surga. Inilah yang disebut dengan “predestination“. Harap dibedakan dengan konsep “double predestination“, dimana dikatakan bahwa Tuhan telah menakdirkan sebagian orang masuk surga dan sebagian masuk neraka.
    Kita percaya bahwa sejak dari awal mula, Tuhan menginginkan agar seluruh umat manusia memperoleh kebahagiaan abadi di Surga bersama dengan Tuhan. Namun Tuhan begitu mengasihi manusia, sehingga Dia menginginkan agar manusia dapat membalas kasih Tuhan dengan bebas. Dan Tuhan memberikan keinginan bebas “free will” kepada manusia. Namun dengan free will ini, manusia dapat berkata ya atau tidak terhadap tawaran Tuhan.
    Mungkin ada yang menanyakan, kenapa Tuhan memberikan keinginan bebas? Ini adalah suatu ekpresi kasih yang begitu dalam kepada umat manusia. Bayangkan, kalau kita mengasihi pacar kita, maka kita ingin agar pacar kita bukan sebagai robot yang menuruti segala keinginan kita. Namun kita menginginkan agar pacar kita secara bebas mengasihi kita.
    Keadilan Tuhan juga tercermin dari seseorang yang diberi banyak akan dituntut lebih banyak.
  4. Allah melihat hati kita yang terdalam. Jawaban terhadap Allah oleh manusia dilihat oleh Allah sebagai suatu pernyataan yang keluar dari dari dalam hatinya. Ini berarti bahwa Tuhan melihat sampai seberapa jauh manusia benar-benar mengasihi Allah. Apakah seseorang mengasihi Allah dengan segenap hati, pikiran dan kekuatan? Atau dengan kata lain, apakah seseorang menempatkan kebenaran (Tuhan) diatas kepentingan pribadi (ciptaan). Inilah sebabnya dalam Sepuluh Perintah Allah, Tuhan memberikan dua loh batu, dimana batu pertama terdiri dari perintah 1-3, yaitu perintah untuk mengasihi Allah lebih dari segala sesuatu. Dan batu loh yang ke-dua memuat perintah 4-10, dimana terkandung perintah untuk mengasihi sesama.
    Nah, yang mengetahui sampai seberapa jauh manusia berusaha adalah Tuhan, karena Tuhan melihat jauh ke dalam hati. Dan kita juga melihat bahwa ada tiga hal untuk melihat sesuatu dianggap sebagai sesuatu yang baik secara moral, yaitu: maksud (intention), situasi (circumstances), dan objek moral (moral object). Jadi dalam hal ini, maksud (intention) yang sebenarnya untuk melakukan sesuatu, hanya Tuhan yang tahu secara persis. Itulah sebabnya Gereja tidak pernah mengatakan bahwa seseorang pasti masuk neraka, karena hanya Tuhan saja yang tahu persis kedalaman hati seseorang sampai pada saat dia dipanggil oleh Tuhan.
  5. Gereja Katolik percaya bahwa Sakramen Baptis adalah mutlak untuk keselamatan, bahkan dikatakan bahwa Gereja tidak tahu ada cara lain selain Baptisan yang membuat orang dapat masuk ke kehidupan kekal di surga (Katekismus Gereja Katolik/KGK, 1257), yaitu baptis air, baptis rindu dan baptis darah, seperti diuraikan di point II di bawah ini. Lebih lanjut dikatakan bahwa Tuhan telah mengikat keselamatan pada Sakramen Pembaptisan.
II. Sebelum kedatangan Kristus.
  1. Bagi bangsa Yahudi sebelum kedatangan Kristus: Sebelum kedatangan Kristus, bangsa Yahudi dipilih Tuhan secara khusus dan menerima wahyu Tuhan, sehingga mereka beriman kepada Tuhan yang satu. Mereka mengetahui wahyu ini melalui perantaraan para nabi. Dan wahyu ini terus-menerus berlangsung sebagai persiapan akan kedatangan Sang Sabda, Yesus Kristus, ke dunia ini. Jadi keselamatan bangsa Yahudi sebelum kedatangan Kristus, terikat oleh Hukum Taurat, yang sebenarnya juga dapat disarikan sebagai mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama (Mat 22:34-40). Hal ini disebabkan oleh 10 perintah Allah yang dapat dibagi menjadi dua: 1) Perintah 1-3: perintah untuk mengasihi Tuhan 2) 4-10, perintah untuk mengasihi sesama. Namun, keselamatan mereka tetap bersumber pada misteri Paskah Kristus.
  2. Bagi bangsa-bangsa lain sebelum kedatangan Kristus dan juga orang-orang yang bukan karena kesalahannya sendiri tidak mengenal Kristus: Dua kategori orang-orang ini terikat oleh hukum yang dituliskan oleh Tuhan sendiri di dalam hati mereka masing-masing, atau yang disebut “natural law” atau hukum kodrat. 10 perintah Allah adalah manifestasi yang sempurna dari hukum kodrat sehingga dengan demikian mengikat seluruh manusia, dengan tidak memandang suku, bahasa, maupun kebudayaan, karena prinsip 10 Perintah Allah ini sebenarnya ada di dalam hati semua orang. Semua suku dan bangsa yang tidak mengenal Tuhan, melihat bahwa seorang anak yang tidak menghormati orangtuanya adalah berdosa, seorang yang membalas kebaikan dengan kejahatan adalah salah. hukum kodrat ini adalah sebagai akibat dari hakikat manusia, yang diciptakan menurut gambaran Allah, yang mampu untuk menangkap konsep sesuatu yang “baik”, mampu untuk mencari kebenaran, mampu untuk menemukan Pencipta-Nya, mampu untuk bersosialisasi, dll. Dan hukum alam ini mengikat manusia, seperti yang dikatakan oleh Rasul Paulus di Rom 2:15 “Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela.“Bagaimana mereka dapat diselamatkan? Gereja Katolik mengajarkan bahwa orang-orang yang, bukan karena kesalahan mereka, tidak mengenal Kristus,[12] dapat juga diselamatkan, asalkan mereka mengikuti hati nurani mereka dan mempraktekkan hukum kasih[13], dimana mereka juga digerakkan oleh rahmat Ilahi.[14] Namun keselamatan mereka datang dari Yesus Kristus.[15]Sebagai contoh dari “bukan karena kesalahan mereka sendiri” adalah orang-orang yang hidup sebelum Kristus, dan juga orang-orang yang tidak terjangkau oleh pemberitaan tentang Kristus. Namun kita juga dapat memasukkan disini adalah orang-orang dari agama lain, yang walaupun telah dijangkau oleh pemberitaan Kristus namun pemberitaan ini tidak memberikan “motive of credibility” (penjelasan dasar yang meyakinkan) yang baik terhadap kekristenan, sehingga orang dari agama lain, bukan karena kesalahannya, tidak dapat percaya akan pesan Kristus.Namun saya ingin menegaskan disini, bahwa kuncinya adalah apakah orang tersebut tidak mau menjadi Kristen karena “invincible ignorance” (ketidaktahuan yang tidak dapat dihindari) ataukah karena memang kepentingan pribadi, misalkan untuk mendapatkan pangkat, sekolah yang baik, dll. Di sini perlu dipertanyakan apakah orang tersebut benar-benar mencari kebenaran di atas segalanya. Maksudnya adalah apakah orang tersebut di dalam kapasitasnya benar-benar mencari kebenaran atau Tuhan dengan segenap hati, segenap pikiran dan segenap kekuatan. Dan dalam hal ini hanya Tuhan yang tahu secara persis apa yang dilakukan oleh orang tersebut. Untuk itulah, maka Gereja tidak akan pernah berkata bahwa seseorang pasti masuk neraka, namun Gereja dapat berkata orang tersebut mempunyai risiko kehilangan keselamatannya. Di sinilah pentingnya bagi orang yang telah mengenal Kristus untuk hidup kudus, sehingga tidak menjadi batu sandungan bagi orang-orang yang tidak mengenal Kristus.
  3. Sekarang kita masuk ke kategori yang lain, yaitu: umat Kristen Non Katolik: Dokumen Vatikan II menjelaskan, bahwa ada unsur-unsur kekudusan dan kebenaran di dalam gereja yang lain, seperti misalkan memegang nilai-nilai suci yang terdapat di Alkitab, hidup dengan kasih, dll. Bahkan gereja Katolik mengakui pembaptisan mereka.[16] Jadi mereka mempunyai kesatuan dengan Gereja Katolik dalam hal baptisan. LG 14 menegaskan bahwa “… andaikata ada orang, yang benar-benar tahu, bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan.”Dalam hal ini, Gereja Katolik menyatakan suatu kondisi bahwa orang dapat kehilangan keselamatan. Namun Gereja tidak pernah tahu secara persis apakah masing-masing pribadi “benar-benar tahu” bahwa Gereja Katolik adalah Sakramen Keselamatan. Kalau seseorang tahu tapi tidak melakukannya, berarti orang tersebut menempatkan kepentingan pribadi di atas Tuhan sendiri, dan ini adalah berdosa. 
  4. Bagaimana dengan umat Katolik sendiri? Dalam Lumen Gentium 14 ditegaskan akan pentingnya untuk terus berjuang hidup kudus, yaitu dengan mempraktekkan kasih kepada Tuhan dan sesama. Orang Katolik yang tidak mempraktekkan kasih, hanyalah menjadi anggota Gereja secara jasmaniah, namun bukan secara spiritual, tidak dapat diselamatkan.[17] Hal ini disebabkan karena mereka sudah mengetahui hal yang benar, namun mereka tidak melakukannya (Lih. Luk 12:47-48).Karena kepenuhan kebenaran ada di Gereja Katolik, umat Katolik seharusnya dapat hidup lebih kudus, karena berkat-berkat yang mengalir dari Sakramen-sakramen, seperti: Ekaristi, Pengampunan Dosa.
  5. Jadi kesimpulannya, kita tidak dapat mengatakan bahwa orang yang tidak dibaptis air (secara sakramen) pasti masuk neraka, sebab ada kondisi-kondisi lain (yang telah disebutkan di atas) yang diperhitungkan. Namun, satu-satunya keselamatan hanya melalui Kristus dan melalui pembabtisan. Jadi bagi orang-orang seperti yang disebutkan di atas, yang dalam kondisi “bukan karena kesalahannya sendiri” tidak dapat mengenal Kristus dan Gereja-Nya, dan juga mereka berbuat kasih dan mengalami pertobatan, orang tersebut sebetulnya mengalami “baptism of desire” (lih KGK, 1258-1259). Dan bagi orang-orang yang mengalami kematian karena iman, tanpa sebelumnya menerima Pembaptisan, mereka juga dapat diselamatkan karena mereka telah menerima “Baptisan darah” (KGK, 1258). Dengan penggabungan faktor-faktor tersebut di atas, maka kita juga dapat mengatakan bahwa orang yang tidak dibaptis tidak dapat masuk surga atau dikatakan bahwa Gereja tidak mengenal cara lain selain pembaptisan untuk masuk surga (KGK, 1257). Dan bagi orang yang telah dibaptis namun tidak menjalankan kasih juga dapat kehilangan keselamatannya.
  6. Kalau begitu apakah kita harus membawa orang kepada Kristus? Tentu saja. Kristus adalah harta terbesar yang kita miliki. Adalah menjadi perbuatan kasih kalau kita membagikan harta terbesar ini kepada semua orang. Namun tentu saja kita harus melakukannya dengan bijasana dan penuh kasih.
Apakah seorang atheis dapat diselamatkan? Jawabannya bisa ya dan tidak. Dapat diselamatkan kalau “orang-orang yang, bukan karena kesalahan mereka, tidak mengenal Kristus, dapat juga diselamatkan, asalkan mereka mengikuti hati nurani mereka dan mempraktekkan hukum kasih, dimana mereka juga digerakkan oleh rahmat Ilahi“.  Keselamatan mereka datang dari Yesus Kristus.
  • Bukan kesalahan mereka sendiri tidak mengenal Kristus dapat diartikan sebagai invincible ignorance, yaitu kesalahan yang dikarenakan oleh ignorance (ketidaktahuan) yang tidak terhindari, namun orang ini telah benar-benar berusaha untuk menemukan kebenaran dengan segenap hati, pikiran, dan kekuatannya. Dan seandainya ada orang yang dapat menerangkan kepadanya dengan baik tentang kebenaran, maka orang tersebut sebenarnya dapat berubah dan menjadi percaya kepada Kristus. Ini berarti orang tersebut menempatkan kebenaran di atas kepentingannya pribadi. Oleh karena itu, orang tersebut dapat diselamatkan.
  • Kelompok yang lain adalah atheis atau orang yang tidak mengenal Kristus, namun karena culpable ignorance, yang disebabkan karena kelalaian sendiri, misalnya: orang tersebut mempunyai kesempatan untuk mencari kebenaran, namun dia  tidak menggunakannya dengan baik. Atau sebenarnya tidak ada alasan bagi orang tersebut untuk tidak mengenal Kristus. Ini dapat diumpamakan seseorang tetap salah dan dihukum kalau karena kelalaiannya tidak mempelajari peraturan lalu lintas, namun dia nekat untuk mengendarai mobil. Kelompok ini mempunyai resiko kehilangan keselamatan mereka.
  • Jadi bagaimana dengan Mahatma Gandhi? “Invincible ignorance” bukan berarti bahwa dia sama sekali tidak pernah mendengar tentang Kristus, namun walaupun dia pernah mendengar tentang Kristus, dan dia telah berusaha dengan segenap pikiran, hati, dan kekuatan, untuk mencoba namun tidak sampai untuk menjadi murid Kristus. Jangan lupa, bahwa orang-orang yang menjadi batu sandungan bagi Mahatma Gandhi turut berpartisipasi dalam dosa, karena menjadi batu sandungan bagi dia untuk menjadi murid Kristus. Beliau mengatakan bahwa kalau semua orang di India dapat menerapkan ajaran Kristus, maka tidak ada lagi orang Hindu di India. Jadi orang-orang saleh yang tidak mengenal Kristus, dapat masuk surga, namun hanya Tuhan yang tahu persis apakah “ignorance” yang mereka lakukan karena “invincible ignorance” atau “culpable ignorance“.
  • Kita jangan lupa, bahwa ada beberapa tingkatan atheist. Pada tingkatan yang paling parah, dimana benar-benar orang tersebut membenci Tuhan, maka orang ini dapat kehilangan keselamatannya. Namun pada tingkatan lain, orang yang “morally good” tidak dapat ‘membenci’ orang sedemikian rupa, atau membenci Tuhan, ia hanya tidak atau belum mengenali Tuhan.  Padahal keberadaan Tuhan dapat dibuktikan dengan akal budi, juga termasuk oleh seorang atheis.
  • Tentu saja bagi yang tidak percaya akan Tuhan, tidak dapat menerapkan hukum kasih yang bersifat supernatural, yaitu mengasihi Tuhan dan sesama untuk Tuhan. Maka akan jauh lebih sulit bagi orang yang tidak kenal Tuhan untuk menerapkan hukum kasih ini untuk masuk surga.
    • Digerakkan oleh Rahmat Ilahi adalah suatu berkat yang membantu, atau dalam istilah teologi adalah “actual grace“. Actual grace ini merupakan gerakan dari Roh Kudus untuk membawa orang ini kepada pertobatan. Dan pada saat orang ini menanggapi dan kemudian menerima pembaptisan, maka orang tersebut menerima “sanctifying grace” atau rahmat kekudusan, yang membuat seseorang menjadi anak Allah.
      Karena Tuhan adalah maha adil, maka kita meyakini bahwa berkat dari Tuhan adalah cukup dan berlimpah bagi setiap orang. Jadi gerakan Roh Kudus ini adalah yang membawa orang pada pertobatan dan perbuatan kasih. Rasul Yohanes mengatakan “Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia.” (1 Yoh 4:16).
    • Secara prinsip, seorang yang benar-benar kristen dan menerapkan ajaran Kristus pasti akan lebih baik dari orang yang bukan Kristen. Dalam membandingkan, kita harus membandingkan apel dengan apel dan tidak bisa apel dengan jeruk. Kita harus bandingkan seorang Katolik yang baik dengan seorang atheis yang baik. Bandingkan atheis yang terbaik dengan para santa-santo, seperti yang terberkati Bunda Teresa dari Kalkuta yang menolong orang karena kasihnya kepada Tuhan, atau St. Maximillian Kolbe yang rela menyerahkan dirinya untuk dibunuh menggantikan nyawa sesama tawanan NAZI.
  • Jadi apakah evangelisasi percuma? Tentu saja tidak! Malah ditekankan bahwa Gereja pada dasarnya adalah misioner. Kita semua yang telah dibaptis harus berjuang untuk membawa semua orang kepada Kristus. Kenapa? Karena bagi orang-orang yang belum mengenal Kristus lebih sulit untuk mencapai keselamatan. ibaratnya mereka tidak mempunyai peta yang baik dan sempurna. Dan berkat Baptisan adalah memberikan manusia kekuatan untuk dapat hidup kudus, yaitu mengasihi Tuhan dan sesama. Jadi bagi yang telah dibaptis dan menerima rahmat Allah, maka tuntutannya lebih besar dibandingkan dengan yang belum mengenal Allah. Dikatakan “Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut” (Luk 12:48). Kita ingin membagikan harta terbesar kita, yaitu Kristus, sehingga mereka lebih mudah untuk mendapatkan keselamatan.
IV. Kontradiksi konsep keselamatan?
  1. Lumen Gentium, 14 mengatakan
    Orang-orang yang, bukan karena kesalahan mereka, tidak mengenal Kristus, dapat juga diselamatkan, asalkan mereka mengikuti hati nurani mereka dan mempraktekkan hukum kasih, dimana mereka juga digerakkan oleh rahmat Ilahi.”
    Jadi bagi orang yang bukan kesalahannya sendiri dapat masuk surga sejauh keadaan tidak mengenal Kristus adalah sebagai akibat dari “invincible ignorance” (ketidak tahuan yang tak dapat dihindari) seperti yang telah dijelaskan di atas.
  2. Hal ini tidaklah bertentangan dengan “Andaikata ada orang, yang benar-benar tahu, bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan.”
    Hal ini dikarenakan bahwa orang yang benar-benar tahu bahwa Kristus mendirikan Gereja Katolik namun tidak masuk di dalamnya berarti dia mendahulukan kepentingan pribadi di atas pencarian kebenaran.
  3. Dan juga tidak bertentangan dengan: “Tetapi tidak diselamatkan orang, yang meskipun termasuk anggota Gereja namun tidak bertambah dalam cinta-kasih; jadi yang “dengan badan” memang berada dalam pangkuan Gereja, melainkan tidak “dengan hatinya”.
    Ini berarti bahwa orang Katolik yang mempunyai “kepenuhan kebenaran” harus benar-benar dapat menerapkan ajaran kasih. Bagi orang Katolik tidak ada alasan untuk tidak mengasihi Tuhan dan sesama, karena semua telah diberi berkat yang berlimpah dari sakramen-sakramen, terutama Sakramen Ekaristi dan Sakramen Tobat, yang memampukan seseorang untuk hidup kudus setelah menerima Sakramen Baptis.
  4. Kita kembali kepada prinsip di awal, bahwa Tuhan adalah maha adil dan kasih. Juga rahmat Tuhan adalah cukup bagi semua orang untuk bersatu dengan Tuhan. Oleh karena hal ini adalah sangat masuk akal, bahwa semuanya mempunyai resiko dan tugas masing-masing untuk mendapatkan keselamatan. Keselamatan adalah suatu proses yang berakhir pada saat kita meninggal. Orang yang tidak mengenal Kristus, yang mengenal Kristus di luar Gereja Katolik, dan anggota Gereja Katolik, semuanya mempunyai resiko kehilangan keselamatan. Yang menjadi perbedaan adalah Gereja Katolik mempunyai “kepenuhan kebenaran”, gereja yang lain tidak mempunyai kepenuhan kebenaran, dan agama-agama lain mempunyai beberapa unsur kebenaran, yang harus dilihat sebagai persiapan untuk menerima pesan Injil (lih. Lumen Gentium, 16).
  5. Gereja Katolik percaya bahwa keselamatan adalah suatu yang telah (past), sedang (present), dan akan datang (future):
    • Telah diselamatkan (Rom 8:24; Ef 2:5,8; 2 Tim 1:9; Tit 3:5).
    • Sedang dalam proses (1 Kor 1:18; 2 Kor 2:15; Fil. 2:12; 1 Pet 1:9).
    • Akan diselamatkan (Mt 10:22, 24:13; Mk 13:13; Mk 16:16; Kis 15:11; Rm 5:9-10; Rm 13:11; 1 Kor 3:15; 2 Tim. 2:11-12; Ibr. 9:28).

    1. Kalau kita berkata bahwa semua yang tidak mengenal Kristus masuk neraka, coba terangkan hal berikut ini: Bagaimana kita begitu yakin bahwa seseorang setelah kedatangan Kristus, yang tinggal di pedalaman Irian Jaya, Kalimantan, dan sampai akhir hayatnya orang tersebut masih tidak mengenal Kristus, pasti masuk neraka. Pertanyaannya, dimanakan keadilan Tuhan? Bukan kesalahan mereka bahwa mereka tidak mengenal Kristus. Kalau saja orang tersebut mendengar tentang Kristus, ada sebagian dari mereka juga akan percaya.
    2. Kalau kita berkata bahwa semua yang tidak mengenal Kristus masuk neraka, coba terangkan hal berikut ini: Bagaimana kita begitu yakin bahwa orang-orang seperti Mahatma Gandhi masuk neraka? Apakah dasarnya? Atau ada yang lebih ekstrim lagi mengatakan bahwa  Bunda Teresa yang terberkati dari Kalkuta masuk neraka, karena beliau tidak maju di dalam “altar call” dan menerima Yesus di depan umum seperti yang terjadi di altar call.
    3. Kalau kita berkata bahwa semua yang telah menerima Kristus pasti masuk surga, coba terangkan hal berikut ini:Orang-orang Kristen atau Katolik yang hidupnya bergelimang dengan dosa sampai akhir hayatnya. Bagaimana seseorang dengan yakin mengatakan “sekali selamat pasti selamat.”

 Sumber : http://katolisitas.org/2008/12/17/siapa-saja-yang-dapat-diselamatkan/

Arti dari Ayat Yohanes 6:12


Mukjizat pergandaan roti (Yesus memberi makan lima ribu orang) merupakan salah satu mukjizat Yesus yang besar dan penting, dan peristiwa ini dicatat oleh ke-empat Injil, yaitu Mat 14:13-21; Mrk 6: 32-44; Luk 9:10-17; Yoh 6:1-15). [Umat Katolik memperingati mukjizat pergandaan roti di dalam setiap perayaan Ekaristi, di mana umat menerima Yesus Kristus sendiri, Sang Roti Hidup, dalam rupa hosti dan anggur].
Dikisahkan bahwa setelah pergandaan roti dan semua orang telah makan kenyang, maka Yesus menyuruh para murid-Nya untuk mengumpulkan potongan-potongan yang lebih supaya tidak ada yang terbuang (lih. Yoh 6:12).
Kristus menghendaki agar sisa tersebut dikumpulkan untuk mengajarkan agar:
1) jangan kita menyia-nyiakan ataupun membuang percuma hal-hal yang Tuhan berikan kepada kita,
2) agar para murid pada waktu itu memperoleh bukti nyata tentang mukjizat yang dilakukan oleh Yesus. Sebab sisa dari mukjizat itu saja jauh lebih banyak dari aslinya, yang hanya dari lima roti dan dua ikan.
Kemudian, pengumpulan sisa ini juga menunjukkan makna perbuatan-perbuatan sederhana yang dapat kita lakukan demi kasih kita kepada Tuhan yang telah mengaruniakan kepada kita segala sesuatu: yaitu menjaga keteraturan, kebersihan dan menyelesaikan segala sesuatu yang ditugaskan sampai selesai. Ini juga mengingatkan kepada umat, khususnya pada para pelayan di altar Tuhan, bahwa perhatian khusus perlu diberikan kepada species Ekaristi (hosti dan anggur).
Juga, ukuran mukjizat yang besar juga merupakan sebuah tanda keistimewaan Yesus sebagai Mesias, dalam membuat mukjizat [dan bagaimana Ia mengatur segalanya sampai ke penanganan sisanya dengan bantuan para rasul]. Para Bapa Gereja membandingkannya dengan nabi Musa, yang membagikan roti manna kepada setiap orang untuk makan seperlunya, namun beberapa orang sengaja meninggalkan sebagian manna tersebut untuk esok harinya, dan kemudian menjadi berulat (lih. Kel 16:16-20). Nabi Elia memberikan kepada  janda di Sarfat itu, secukupnya sesuai dengan kebutuhannya (1 Raj 17:13-16); namun Yesus memberikan dengan kemurahan hati-Nya dengan berlimpah, sampai semua dapat makan sampai kenyang, dan masih mempunyai sisa, untuk dapat dibagikan kepada orang-orang lain yang membutuhkan.
Pada dasarnya, semua berkat Tuhan yang diberikan kepada kita, harus digunakan dengan bijak, dengan semangat kemiskinan (‘the spirit of poverty“) dalam artian digunakan sampai habis sesuai dengan kebutuhan, namun jika ada sisanya, dikumpulkan agar dapat digunakan oleh orang lain yang membutuhkan. Ini adalah yang dikatakan oleh Paus Paulus VI dalam Konferensi Pangan sedunia, 9 November 1974, berikut ini kutipannya:
“… setelah memberi makan kumpulan orang banyak tersebut dengan limpah, Tuhan Yesus memerintahkan para murid-Nya untuk mengumpulkan yang sisa, jika tidak maka terdapat yang sia-sia terbuang (lih. Yoh 6:12). Betapa ini adalah pelajaran dalam hal penghematan – dalam artian yang paling halus dan penuh- sebab pada masa sekarang ini, begitu banyak berkat diboroskan sia-sia! Ajaran ini menunjukkan penolakan terhadap konsep masyarakat di mana konsumerisme cenderung menjadi tujuan akhir, di mana orang jijik (contempt) terhadap orang-orang miskin, dan akhirnya itu merugikan orang-orang tersebut karena menjadi tidak mampu untuk melihat bahwa manusia dipanggil untuk maksud yang lebih tinggi (to a higher destiny)….”
Maka sesungguhnya, ayat Yoh 6:12 ini adalah ayat yang sangat baik untuk mengingatkan kita untuk dapat menggunakan berkat-berkat yang Tuhan berikan dengan bijak, tidak memboroskannya dan membuang percuma, namun untuk membagikannya juga kepada orang lain yang membutuhkannya. Inilah prinsip penghematan dan solidaritas kepada yang miskin, yang diajarkan oleh Kristus kepada kita para murid-Nya. Sebab manusia terpanggil untuk maksud yang mulia (a higher destiny), yaitu jika ia dapat menggunakan berkat-berkat yang diberikan oleh Tuhan untuk mengembangkan diri dan sesamanya, dan hidup dalam persaudaraan kasih dengan sesama manusia, dan mengakui bahwa segala yang diterimanya sebagai anugerah dari Tuhan.  Sebab kebutuhan kita bukan melulu kebutuhan jasmani, tetapi juga rohani, dan bahwa pada akhirnya kita harus mempertanggungjawabkan kepada-Nya segala talenta yang sudah Tuhan berikan kepada kita.

Mengapa kita Makan dan Minum Tubuh dan Darah Kristus ?


Sebenarnya ada penjelasan yang panjang mengenai mengapa kita memakan Tubuh dan Darah Tuhan Yesus, dan apa makna dari Ekaristi ini. Silakan membaca di artikel: Sudahkah kita pahami Ekaristi, silakan klik. Singkatnya, kita memakan Tubuh dan Darah Kristus karena Tuhan Yesus sendiri memerintahkannya kepada kita, melalui para rasul-Nya. Tepatnya demikianlah perkataan Yesus,
Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia…… Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman. Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia. Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku. Inilah roti yang telah turun dari sorga, bukan roti seperti yang dimakan nenek moyangmu dan mereka telah mati. Barangsiapa makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya.” (Yoh 6:51-58)

Maka, sama seperti dalam kehidupan jasmani kita perlu makan supaya kita tetap hidup, demikian kita perlu makanan rohani yaitu Yesus sendiri, supaya kita dapat memperoleh hidup yang kekal. St. Thomas Aquinas sangat terkenal dalam mengajarkan semboyan, “grace perfects nature” yaitu bahwa rahmat Allah menyempurnakan kodrat manusia, maka kita kenal juga bahwa dalam kehidupan spiritual, terdapat juga proses yang serupa dengan kehidupan kodrati, yaitu: Kelahiran rohani dengan Pembaptisan, Kedewasaan rohani dengan Penguatan, Makanan rohani dengan Ekaristi, Penyembuhan rohani  [dan jasmani] dengan Pengakuan dosa dan Pengurapan orang sakit/ Perminyakan, Perkawinan dan Tahbisan untuk memaknai panggilan hidup.
Berikut ini adalah beberapa hal penting yang disampaikan Yesus berkenaan dengan apa maksud-Nya Ia memerintahkan kita agar makan dan minum Tubuh dan Darah-Nya:

1. Yesus sendiri lahir di kota Betlehem, yang artinya adalah “Rumah Roti” sejalan dengan identitas Diri-Nya sebagai “Roti Hidup” (Yoh 6:51). Maka pemberian roti manna kepada orang Israel di PL diperbaharui dalam PB, dengan Roti Hidup, yaitu Ekaristi. Pada PL, roti manna diberikan oleh Allah untuk menuntun bangsa Israel menuju Tanah Perjanjian (Kanaan), sedangkan sekarang, Ekaristi diberikan kepada kita umat Katolik, sebagai bangsa pilihan Allah yang baru, agar kita dapat mencapai Tanah Perjanjian yang baru yaitu Surga.
2. Yesus sendiri membuat mukjizat pergandaan roti untuk mempersiapkan umat terhadap pengajaran-Nya tentang Roti Hidup ini, dan mukjizat pergandaan roti yang memberi makan lima ribu orang ini merupakan salah satu mukjizat terbesar yang dicatat oleh ke-empat Injil  (Mat 14:13-21; Mrk 6:32-44; Luk 9:10-17; Yoh 6: 1-15). Persahabatannya dengan para pengikut-Nya sering ditandai dengan makan bersama, mislanya kisah Maria, Martha, Lazarus, bahkan Zakheus.

3. “Roti Hidup” merupakan salah satu pengajaran Yesus yang terpenting dan tersulit, namun Yesus tetap mengajarkan-Nya meskipun pada saat ia mengajarkan hal ini banyak pengikut-Nya meninggalkan Dia (Yoh 6:66). Yesus tidak mengganti ajaran ini dengan ajaran lain yang lebih “mudah”, namun malah bertanya kepada para Rasul, “Apakah kamu mau pergi juga?” (Yoh 6:67), yang dijawab Petrus dengan iman bahwa mereka tidak akan berpaling dari Yesus.

4. Sebelum wafat-Nya Yesus berpesan kepada para murid-Nya untuk melakukan perjamuan ini sebagai peringatan akan Diri-Nya dan karya keselamatan Allah kepada manusia (Mat 26:20-29; Mrk 14:17-25; Luk 22:14-23; Yoh 13:21-30).
5. Sesudah kebangkitan-Nya,  Ia menampakkan diri kepada dua orang muridnya dalam perjalanan ke Emaus (Luk 24:13-35), dengan menjelaskan isi Alkitab dan perjamuan Ekaristi. Kedua hal inilah yang terdapat dalam Misa Kudus, yaitu liturgi Sabda dan liturgi Ekaristi.

6. Ekaristi (“memecah roti dan berdoa”) merupakan cara ibadah para rasul dan jemaat pertama (lih. Kis 2:42). Rasul Paulus-pun mengajarkan tentang Ekaristi ini (1 Kor 11: 23-29).

7. Bahwa sudah menjadi maksud Yesus untuk memberikan “Roti Surga”/ “Manna yang baru” kepada umat-Nya, dan dengan demikian kita akan tergabung dalam persekutuan dengan-Nya, sampai akhirnya kita bersatu dengan sempurna dengan Dia di surga. Ia berkata, “Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku.” (Why 3:20).
Demikian sekilas yang dapat saya tuliskan tentang mengapa kita makan dan minum Tubuh dan Darah Kristus. Kita melakukannya karena Tuhan Yesus sendiri memerintahkan-Nya kepada kita, dan ini pula-lah yang diterapkan oleh Gereja sejak awal. Semoga kita semakin menyadari makna Ekaristi yang sangat dalam ini, dan oleh karena itu mengambil bagian di dalamnya dengan rasa hormat dan syukur. Selanjutnya,

Pahami Pengertian Ekaristi

 

Pendahuluan

Karena Ekaristi adalah Yesus Kristus sendiri, Ekaristi menjadi ‘jantung’ dari iman Katolik. Katekismus Gerja Katolik mengajarkan bahwa Ekaristi adalah “sumber dan puncak seluruh kehidupan Kristiani” (KGK 1324) dan “hakikat dan rangkuman iman kita” (KGK 1327). Tentu idealnya semua orang Katolik mengetahui hal ini, tetapi sayangnya, kenyataan berbicara lain. Di Amerika, menurut polling pendapat yang diadakan oleh Gallup poll pada tahun 1992, pengertian ini tidak dimiliki oleh sebagian besar umat Katolik.[1] Hal yang serupa mungkin pula terjadi di Indonesia.
Hasil yang diperoleh cukup menggambarkan bahwa banyak orang Katolik yang tidak tahu dengan persis bahwa Yesus sungguh-sungguh hadir dalam Ekaristi:
  • 30% percaya bahwa mereka sungguh-sungguh dan benar-benar menerima Tubuh, Darah, Jiwa dan ke-Allahan Yesus Kristus dalam rupa roti dan anggur.
  • 29% percaya bahwa mereka menerima roti dan anggur yang melambangkan Tubuh dan Darah Kristus.
  • 10% percaya mereka menerima roti dan anggur di mana di dalamnya Yesus juga hadir.
  • 24% percaya mereka menerima Tubuh dan Darah Yesus karena iman mereka sendiri mengatakan demikian.
Orang yang benar-benar mengerti akan pengajaran Gereja Katolik akan mengetahui bahwa pilihan yang benar itu hanya pilihan pertama, sedangkan pilihan yang lain itu keliru. Sayangnya, hanya 30% umat Katolik yang mengerti akan kebenaran ini; sedangkan 70% yang lain sepertinya ‘bingung’ atau memegang kepercayaan gereja lain yang bukan Katolik. Mari kita bertanya pada diri kita sendiri, termasuk golongan mana kita ini?

Apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik tentang Ekaristi?

1. Kehadiran Yesus Kristus yang real dan substansial di dalam Ekaristi

Selama kira-kira 2000 tahun, Gereja Katolik selalu mengajarkan bahwa Yesus Kristus sungguh hadir, real dan substansial, di dalam Ekaristi, yaitu Tubuh, Darah, Jiwa dan ke-Allahan-Nya di dalam rupa roti dan anggur (KGK 1374). Pada saat imam selesai mengucapkan doa konsekrasi – “Inilah Tubuh-Ku” dan “Inilah darah-Ku”, Tuhan secara ajaib mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah-Nya. Kejadian ini disebut sebagai “transubstansiasi“, yang mengakibatkan substansi dari roti dan anggur berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus (lih. KGK 1376). Jadi yang tinggal hanyalah rupa roti dan anggur, tetapi substansi roti dan anggur sudah lenyap, digantikan dengan kehadiran Yesus.
Yesus hadir seutuhnya di dalam roti itu, bahkan sampai di partikel yang terkecil dan di dalam setiap tetes anggur. Pemecahan roti bukan berarti pemecahan Kristus, sebab kehadiran Kristus utuh, tak berubah dan tak berkurang di dalam setiap partikel. Dengan demikian kita dapat menerima Kristus di dalam rupa roti saja, atau anggur saja, atau kedua bersama-sama (lih. KGK 1390). Dalam setiap hal ini, kita menerima Yesus yang utuh di dalam sakramen.
Karena Yesus sungguh-sungguh hadir di dalam Ekaristi, maka kita memberi hormat di depan tabernakel, kita berlutut dan menundukkan diri sebagai tanda penyembahan kepada Tuhan. Itulah sebabnya Gereja memperlakukan Hosti Kudus dengan hormat, dan melakukan prosesi untuk menghormati Hosti suci yang disebut Sakramen Maha Kudus, dan mengadakan adorasi di hadapan-Nya dengan meriah (lih. KGK 1378).
Kehadiran Kristus di dalam Ekaristi bermula pada waktu konsekrasi dan berlangsung selama rupa roti dan anggur masih ada (KGK 1377), maksudnya pada saat roti dan anggur itu dicerna di dalam tubuh kita dan sudah tidak lagi berbentuk roti, maka itu sudah bukan Yesus. Jadi kira-kira Yesus bertahan dalam diri kita [dalam rupa hosti] selama 15 menit. Sudah selayaknya kita menggunakan waktu itu untuk berdoa menyembah-Nya, karena untuk sesaat itu kita sungguh-sungguh menjadi tabernakel Allah yang hidup!
Kristus sendiri yang mengundang kita untuk menyambut Dia dalam Ekaristi (KGK 1384), dan karena itu kita harus mempersiapkan diri untuk saat yang agung dan kudus ini, dengan melakukan pemeriksaan batin. Karena Ekaristi itu sungguh-sungguh Allah, maka kita tidak boleh menyambutNya dalam keadaan berdosa berat. Untuk menyambut-Nya dengan layak kita harus berada dalam keadaan berdamai dengan Allah. Jika kita sedang dalam keadaan berdosa berat, kita harus menerima pengampunan melalui Sakramen Tobat sebelum kita dapat menyambut Komuni Kudus (KGK 1385).

2. Keutamaan Ekaristi disebabkan karena di dalamnya terkandung Kristus sendiri

Ekaristi disebut sebagai sumber dan puncak kehidupan Kristiani (LG 11) karena di dalamnya terkandung seluruh kekayaan rohani Gereja, yaitu Kristus sendiri (KGK 1324). Pada perjamuan terakhir, pada malam sebelum sengsara-Nya, Kristus menetapkan Ekaristi sebagai tanda kenangan yang dipercayakan oleh Kristus kepada mempelai-Nya yaitu Gereja (KGK 1324). Kenangan ini berupa kenangan akan wafat dan kebangkitan Kristus yang disebut sebagai Misteri Paska, yang menjadi puncak kasih Allah yang membawa kita kepada keselamatan (KGK 1067). Keutamaan Misteri Paska dalam rencana Keselamatan Allah mengakibatkan keutamaan Ekaristi, yang menghadirkan Misteri Paska tersebut, di dalam kehidupan Gereja (KGK 1085).
Gereja Katolik mengajarkan bahwa kurban salib Kristus terjadi hanya sekali untuk selama-lamanya (Ibr 9:28). Kristus tidak disalibkan kembali di dalam setiap Misa Kudus, tetapi kurban yang satu dan sama itu dihadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus (KGK 1366). Hal itu dimungkinkan karena Yesus yang mengurbankan Diri adalah Tuhan yang tidak terbatas oleh waktu dan kematian. Kristus telah mengalahkan maut, karenanya Misteri Paska-Nya tidak hanya terbenam sebagai masa lampau, tetapi dapat dihadirkan di masa sekarang (KGK 1085). Karena bagi Tuhan, segala waktu adalah ’saat ini’, sehingga masa lampau maupun yang akan datang terjadi sebagai ’saat ini’. Dan kejadian Misteri Paska sebagai ’saat ini’ itulah yang dihadirkan kembali di dalam Ekaristi, dengan cara yang berbeda, yaitu secara sakramental. Dengan demikian, Ekaristi menjadi kenangan hidup akan Misteri Paska dan akan segala karya agung yang telah dilakukan oleh Tuhan kepada umat-Nya, dan sekaligus harapan nyata untuk Perjamuan surgawi di kehidupan kekal (lih. KGK 1362,1364,1340,1402,1405).

3. Beberapa nama Ekaristi dan artinya

Ekaristi berasal dari kata ‘eucharistein‘ yang artinya ucapan terima kasih kepada Allah (KGK 1328). Ekaristi adalah kurban pujian dan syukur kepada Allah Bapa, di mana Gereja menyatakan terima kasihnya kepada Allah Bapa untuk segala kebaikan-Nya di dalam segala sesuatu: untuk penciptaan, penebusan oleh Kristus, dan pengudusan. Kurban pujian ini dinaikkan oleh Gereja kepada Bapa melalui Kristus: oleh Kristus, bersama Dia dan untuk diterima di dalam Dia. (KGK 1359-1361)
Ekaristi adalah Perjamuan Tuhan, yang memperingati perjamuan malam yang diadakan oleh Kristus bersama dengan murid-murid-Nya. Perjamuan ini juga merupakan antisipasi perjamuan pernikahan Anak Domba di surga (KGK 1329).
Ekaristi adalah kenangan akan kesengsaraan dan kebangkitan Tuhan (KGK 1330). Ekaristi diadakan untuk memenuhi perintah Yesus untuk merayakan kenangan akan hidup-Nya, kematian-Nya, kebangkitan-Nya dan akan pembelaan-Nya bagi kita di depan Allah Bapa (KGK 1341).
Ekaristi adalah Kurban kudus, karena ia menghadirkan kurban tunggal Yesus, dan juga kurban penyerahan diri Gereja yang mengambil bagian dalam kurban Yesus, Kepalanya (KGK 1330, 1368). Sebagai kenangan Paska Kristus, Ekaristi menghadirkan dan mempersembahkan secara sakramental kurban Kristus satu-satunya dalam liturgi Gereja (KGK 1362, 1365). Ekaristi menghadirkan kurban salib dan memberikan buah-buahnya yaitu pengampunan dosa (KGK 1366).
Ekaristi adalah Komuni kudus, karena di dalam sakramen ini kita menerima Kristus sendiri (KGK 1382) dan dengan demikian kita menyatukan diri dengan Kristus, yang mengundang kita mengambil bagian di dalam Tubuh dan Darah-Nya, supaya kita membentuk satu Tubuh dengan-Nya (KGK 1331).
Ekaristi dikenal juga dengan Misa kudus, karena perayaan misteri keselamatan ini berakhir dengan pengutusan umat beriman (missio) supaya mereka melaksanakan kehendak Allah dalam kehidupan sehari-hari.

4. Buah-buah Ekaristi/ Komuni kudus

  • Komuni memperdalam persatuan kita dengan Yesus, hal ini berdasarkan atas perkataan Yesus, “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum Darah-Ku, ia tinggal dalam Aku dan Aku di dalam Dia” (KGK 1391).
  • Komuni memisahkan kita dari dosa, karena dengan mempersatukan kita dengan Kristus kita sekaligus dibersihkan dari dosa yang telah kita lakukan dan melindungi kita dari dosa-dosa yang baru (KGK 1393).
  • Ekaristi membangun Gereja di dalam kesatuan. Oleh Ekaristi Kristus mempersatukan kita dengan semua umat beriman menjadi satu Tubuh, yaitu Gereja. Ekaristi memperkuat kesatuan dengan Gereja yang telah dimulai pada saat pembaptisan (KGK 1396).
  • Ekaristi mewajibkan kita terhadap kaum miskin, sebab dengan bersatu dengan Kristus dalam Ekaristi, kita juga mengakui Kristus yang hadir di dalam orang-orang termiskin yang juga menjadi saudara-saudara-Nya (KGK 1397), yang di dalam Dia, menjadi saudara-saudara kita juga.
  • Ekaristi mendorong kita ke persatuan umat beriman, sebab Ekaristi, menurut perkataan Santo Agustinus adalah ’sakramen kasih sayang, tanda kesatuan dan ikatan cinta,’ (KGK 1398) yang seharusnya secara penuh dialami bersama oleh semua orang yang beriman di dalam Kristus.

Dasar pengajaran tentang Ekaristi dari Alkitab

1. Perjanjian Lama:

  • Imam Agung Melkisedek mempersembahkan roti dan anggur (Kej 14:18) yang menggambarkan Perjamuan Yesus pada Perjamuan Terakhir. Yesus sendiri dikatakan sebagai Imam Besar menurut peraturan Melkisedek (Ibr 6:20).
  • Kurban anak domba Paska yang menyelamatkan umat Israel merupakan kurban yang dimakan sebagai makanan untuk menguatkan mereka menempuh perjalanan ke Tanah Terjanji (Kej 12:1-20). Hal ini menggambarkan Ekaristi yang merupakan kurban Anak Domba Allah, yaitu Yesus, yang dimakan sebagai makanan untuk menjadi bekal perjalanan kita ke Tanah Terjanji, yaitu surga.
  • Roti Manna yang menjadi simbol Ekaristi pada Perjanjian Lama. Yesus sendiri mengatakan bahwa Ia adalah Roti manna yang turun dari surga (lih. Yoh 6:32-51). Seperti halnya bahwa manna menguatkan bangsa Israel sepanjang perjalanan di gurun dan berhenti dicurahkan setelah mereka sampai di Tanah Terjanji; Ekaristi juga diberikan untuk menguatkan kita di perjalanan hidup di dunia, dan berhenti setelah kita sampai di surga.
  • Pada Tabut Perjanjian Lama menggambarkan tabernakel pada gereja Katolik di manapun, yang merujuk pada Ekaristi. Dua loh batu (Kel 25:16) menggambarkan sabda kehidupan yang terkandung dalam Ekaristi. Manna (Kel 16:34) menggambarkan Ekaristi sebagai roti hidup yang turun dari surga (Yoh 6:51). Tongkat Harun (Bil 17: 5) yang menandai imamatnya, menggambarkan peran Imamat kudus dalam Kristus, yaitu tubuhNya. Seperti tongkat Harun yang bertunas, tubuh Yesus yang ditembus oleh tombak mengeluarkan air dan darah yang melambangkan sakramen Pembaptisan dan Ekaristi.[2]

2. Perjanjian Baru:

Yesus sungguh-sungguh hadir di dalam Ekaristi, seperti dinyatakan:
  • Pada Perjamuan Terakhir Yesus memerintahkan murid-murid-Nya untuk mengenangkan Dia dengan merayakan perjamuan tersebut. Yesus berkata, “Inilah Tubuh-Ku… (bukan ini melambangkan Tubuh-Ku)… (lih Mat 26-28; Mrk 14:22-24; Luk 22:15-20).”
  • Yesus mengatakan sendiri bahwa Ia adalah “Roti hidup yang turun dari surga. Jikalau seorang makan dari roti ini, dia akan hidup selama-lamanya; dan roti yang Ku-berikan itu ialah daging-Ku yang Kuberikan untuk hidup dunia (Yoh 6:35, 51).
  • Pengajaran ini diberikan setelah Yesus mengadakan mukjizat pergandaan roti, yaitu mukjizat yang ditulis di dalam ke-empat Injil (Mat 14:13-21; Mrk 6:32-44; Luk 9:10-17; Yoh 6:1-15). Lima roti yang sama yang dibagikan oleh para rasul dapat memberi makan 5000 orang, dengan sisa 12 keranjang. Ini menggambarkan Yesus yang satu dan sama hadir dalam Ekaristi, dapat dibagikan kepada semua orang, tanpa Dia sendiri menjadi terbagi-bagi atau berkurang/ hilang.
  • Yesus berkata bahwa Ia lebih tinggi nilainya dari pada manna yang diberikan kepada orang Israel di gurun. Padahal mukjizat manna adalah suatu mukjizat yang besar, setiap harinya berjuta orang Israel menerima 1 omer (1.1 liter) roti manna per orang, sehingga tiap harinya ada beberapa ratus ton roti manna tercurah dari langit, selama 40 tahun.[3] Yesus mengatakan bahwa mukjizat-Nya lebih hebat daripada mukjizat manna ini, sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa di dalam Ekaristi, roti dapat sungguh-sungguh diubah Yesus menjadi diri-Nya sendiri, seperti yang dikatakan-Nya.
  • Orang-orang yang mendengarkan pengajaran ‘Roti Hidup’ ini memahami bahwa Yesus mengajarkan sesuatu yang literal (tidak figuratif/ simbolis), sehingga mereka meninggalkan Yesus sambil berkata, “Bagaimana Ia ini dapat memberikan daging-Nya untuk dimakan” (Yoh 6:52)
  • Yesus menggunakan gaya bahasa yang kuat untuk menjelaskan arti literal pengajaran ini dengan mengulangi pengajaran ini sampai 6 kali di dalam 6 ayat (ay. 53-58),… jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu (Yoh 6:53); Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman (Yoh 6:55). Ini adalah gaya bahasa yang bukan kiasan/ simbolis!
  • Banyak murid tidak dapat menerima pengajaran ini, dan meninggalkan Yesus (ay.66), tetapi Yesus tidak menarik kembali pengajaran-Nya tentang diri-Nya sebagai “Roti Hidup”. Dia tidak mengatakan bahwa Dia hanya berkata secara figuratif/simbolis. Pada beberapa kesempatan, jika Ia berbicara secara figuratif, Yesus menerangkan kembali maksud perkataan-Nya pada para murid-Nya yang mengartikannya secara literal. (Contohnya pada Yoh 4:31-34, Yesus menjelaskan bahwa ‘makanan-Nya yang tidak mereka kenal’ adalah melakukan kehendak Bapa yang mengutus-Nya. Atau pada Mat 16:5-12; tentang ragi orang-orang Farisi dan Saduki, maksudnya adalah bukan ragi secara literal, tetapi pengajaran mereka)[4]
  • Setelah banyak yang meninggalkan Dia karena pengajaran ini, Yesus bahkan bertanya kepada ke dua-belas rasulNya, “Apakah kamu tidak mau pergi juga?”(Yoh 6:67). Namun Petrus menjawab, “Tuhan kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal (Yoh 6:69). Pertanyaan yang sama ditujukan pada kita, apakah kita mau percaya akan pengajaran ini seperti Petrus, ataukah kita seperti murid-murid lain yang meninggalkan Dia?
  • Rasul Paulus mengingatkan jemaat agar tidak menerima Ekaristi secara tidak layak, supaya tidak berdosa terhadap Tubuh dan Darah Tuhan (1 Kor 11:27). Rasul Paulus juga menambahkan, jika seseorang makan dan minum tanpa mengakui Tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya sendiri (1 Kor 11:28-29). Pengajaran ini tidak masuk di akal, jika kehadiran Yesus dalam Ekaristi hanya simbolis belaka. Kesimpulannya, St. Paulus jelas mengajarkan bahwa Yesus sungguh-sungguh hadir di dalam Ekaristi.

3. Bukti dari para Bapa Gereja di abad awal

Tulisan para Bapa Gereja di abad awal merupakan bukti yang sangat penting tentang ‘keaslian’ pengajaran tentang Ekaristi. Para Bapa Gereja merupakan saksi yang menjamin keaslian pengajaran Alkitab, karena mereka sungguh-sungguh menyaksikan para rasul mengajar dan menuliskan Injil, seperti Rasul Matius, Yohanes dan St. Paulus menuliskan surat-suratnya. Melalui tulisan-tulisan mereka, kita mengetahui Tradisi Suci para Rasul, seperti Kehadiran Yesus dalam Ekaristi, Misa Kudus, kepemimpinan Rasul Petrus, devosi kepada Maria, Api penyucian, dll. Semua pengajaran ini adalah pengajaran yang diteruskan oleh Gereja Katolik. Berikut ini adalah para Bapa Gereja yang mengajarkan tentang kehadiran Yesus di dalam Ekaristi:
  1. Ignatius dari Antiokhia, murid dan pembantu Rasul Yohanes, uskup ke-3 di Antiokhia. Tahun 110 ia menulis 7 surat kepada gereja-gereja sebelum kematiannya sebagai martir di Roma. Pada suratnya ke gereja di Smyrna, St. Ignatius menyebutkan bahwa mereka yang tidak percaya kepada ‘Kehadiran Yesus di dalam Ekaristi’ adalah sesat (‘heretics‘).[5] Kepada gereja di Roma, St. Ignatius menuliskan imannya tentang Ekaristi yang sungguh-sungguh adalah Tubuh dan Darah Yesus.[6]
  2. St. Yustinus Martir, pengikut Kristus pada tahun 130, yang mendapat pengajaran dari Rasul Yohanes, seorang Apologist yang terkenal di abad ke-2. Pada tulisannya kepada Emperor di Roma, yaitu “Apology” pada tahun 150, St. Yustinus juga menjelaskan kebenaran pengajaran tentang kehadiran Yesus di dalam Ekaristi.[7]
  3. St. Irenaeus, uskup Lyons, hidup tahun 140-202. Ia murid St. Polycarpus yang adalah murid Rasul Yohanes. Dengan menuliskan bukunya yang terkenal, “Against Heresies” (195), ia menghancurkan pandangan sesat yang bertentangan dengan kepercayaan Gereja yang dipegang oleh para rasul.[8]
  4. St. Cyril dari Yerusalem, pada tahun 350 mengajarkan agar kita sebagai pengikut Kristus percaya sepenuhnya akan kehadiran Yesus di dalam Ekaristi, sebab Yesus sendiri yang mengatakannya[9]
  5. St. Hilary, uskup Poitiers, Perancis, tahun 315-367. Dengan karyanya, “On the Trinity” (356), St. Hilary mengajarkan kehadiran Kristus dalam Ekaristi yang kita terima menjadikan kita tinggal di dalam Kristus dan Kristus di dalam kita.[10]
Para Bapa Gereja ini membuktikan bahwa jemaat Kristen awal percaya akan Kehadiran Yesus di dalam Ekaristi. Perhatikanlah bahwa St. Ignatius adalah murid Rasul Yohanes, sedangkan St. Yustinus Martir dan St. Irenaeus belajar langsung dari murid-murid Rasul Yohanes. Mereka semua mendapat pengajaran dari Rasul Yohanes yang menulis tentang Yesus sebagai “Roti Hidup” (Yoh 6). Siapa yang dapat mengatakan bahwa ia lebih memahami pengajaran Yesus tentang ‘Roti Hidup’ ini dari pada mereka yang mendengar langsung/ murid dari Rasul Yohanes?

Kesimpulan

Jika kita dengan hati terbuka mempelajari Alkitab, dan tulisan para Bapa Gereja, kita akan melihat bahwa kenyataan menunjukkan bukti yang kuat yang mendasari pengajaran Gereja Katolik tentang Kehadiran Yesus secara real dan substansial di dalam Ekaristi. Yesus sendiri hadir di dalam Ekaristi, di dalam rupa roti dan anggur, dan sudah menjadi kehendak-Nya agar kita mengenangkan Dia melalui perjamuan ini, agar kita dapat mengambil bagian di dalam Misteri Paska-Nya yang mendatangkan keselamatan bagi dunia. Ekaristi adalah cara yang dipilih Yesus agar kita dapat tinggal di dalam Dia dan Dia di dalam kita. Percaya penuh akan kehadiran-Nya di dalam Ekaristi dan menerima Ekaristi dengan sikap yang benar merupakan bentuk perwujudan iman dan kasih kita kepada Tuhan yang terlebih dahulu mengasihi kita sampai wafat di salib. Mari kita menerima dengan hati terbuka, cara Yesus mengasihi kita di dalam Ekaristi. Mari kita berdoa, agar makin hari kita makin dapat menghayati kasih-Nya yang tak terbatas, yang tercurah pada kita melalui Sakramen yang Maha Kudus ini…

Kedewasaan Iman Dalam Kristus

 

Pendahuluan

Jika kita bertanya pada anak-anak tentang cita-cita mereka, tentu mereka ingin menjadi besar, dengan kata lain, ingin bertumbuh menjadi dewasa. Memang, pertumbuhan menjadi ciri khas kita sebagai manusia, yang kita alami baik secara jasmani maupun rohani. Selayaknya, kita yang telah dibaptis ingin bertumbuh menjadi lebih dewasa di dalam Kristus. Allah sendiri menghendaki pertumbuhan iman ini, dan karena itu Ia mengaruniakan rahmat Sakramen Penguatan, yang dimaksudkan untuk melengkapi rahmat Pembaptisan.[1]
Sebagaimana secara alamiah seseorang lahir, bertumbuh, oleh karena makanan jasmani, maka secara rohani, iapun dilahirkan kembali di dalam Pembaptisan; menjadi dewasa oleh Penguatan dan bertumbuh dan dikuatkan oleh Ekaristi, yang adalah makanan rohani. Oleh karena itu sakramen Pembaptisan, Penguatan dan Ekaristi menjadi Sakramen-sakramen Inisiasi Kristen yang kesatuannya harus dipertahankan.[2]

Arti Sakramen Penguatan / Krisma

Dalam kehidupan rohani, kita yang telah dilahirkan kembali oleh air dan Roh melalui Pembaptisan, juga bertumbuh dewasa di dalam Kristus. Kedewasaan di dalam Kristus ini ditandai oleh ketahanan kita untuk menolak dosa dan kuasa jahat yang menjadi ‘musuh’ iman kita. Untuk itu, Kristus melalui Gereja-Nya memberikan pada kita Sakramen Penguatan, yang memperlengkapi kita untuk menghadapi peperangan rohani antara keinginan berbuat baik dan pengaruh dunia yang sering kali bertentangan dengan iman kita. Karena pergumulan ini bersifat rohani, maka Allah memberikan kepada kita sumber kekuatan, yaitu karunia yang berasal dari Roh Kudus-Nya sendiri. Kepenuhan Roh inilah yang dijanjikan oleh Kristus kepada para murid-Nya (Yoh 14:15-26).
Sakramen Penguatan disebut juga sebagai sakramen Krisma. Krisma sendiri berarti pengurapan. Pengurapan ini menjelaskan nama Kristen yang berarti ‘yang terurapi’ yang dapat kita lihat kesempurnaannya pada diri Yesus Kristus, yang diurapi Allah dengan Roh Kudus-Nya (Kis 10:38). Jadi Krisma bagi kita adalah pengurapan yang menjadikan kita seperti Kristus, dengan menerima pengurapan Roh Kudus yang sama seperti yang diterima oleh Kristus.

Sakramen Penguatan menurut Kitab Suci

  1. Yesus menjanjikan karunia Roh Kudus yang disebut-Nya sebagai Penolong dan Roh Kebenaran yang akan menyertai para murid-Nya sampai selama-lamanya (lih. Yoh 14:16). Jadi, Kristus meng-institusikan sakramen ini, bukan dengan memberikannya secara langsung, tetapi dengan menjanjikannya. Ia mengatakan, “Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jika Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepada-Mu (Yoh 16:7).
  2. Para Rasul menerima pemenuhan janji rahmat Penguatan dari Roh Kudus tersebut pada hari Pentakosta. Setelah dipenuhi oleh Roh Kudus, para murid menjadi berani untuk mewartakan “perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah” (Kis 2:11).
  3. Curahan Roh Kudus merupakan tanda untuk saat mesianis pada hari-hari terakhir (lih. Kis 2:17-18)[3], yang mendatangkan karunia Roh Kudus.
  4. Pengurapan Roh Kudus ini ditandai dengan penumpangan tangan (lih. Kis 8:14-17) dan pengurapan dengan minyak harum yang disebut krisma. Oleh Penguatan, kita semakin diikutsertakan dalam perutusan Yesus Kristus dan mengambil bagian di dalam kepenuhan Roh Kudus, sehingga seluruh kehidupannya mengalirkan “keharuman Kristus” (lih. 2 Kor 2:15).[4]
  5. Rasul Paulus mengajarkan agar sebagai umat beriman, kita perlu bertumbuh, agar tidak terus menjadi manusia duniawi yang puas dengan susu, melainkan juga yang dapat menerima makanan keras (1 Kor 3:2, Ibr 5:12). Pertumbuhan ini dimungkinkan oleh Roh Kudus yang memberikan kekuatan kepada kita.

Buah-buah Sakramen Penguatan

Pertama, sakramen Penguatan menyebabkan curahan Roh Kudus dalam kelimpahan, seperti yang dialami oleh para Rasul pada hari Pentakosta.[5] Curahan Roh Kudus dapat menjadikan kita seperti para rasul: yaitu memiliki kasih yang berkobar kepada Kristus dan keinginan memberikan diri untuk ikut serta dalam karya Keselamatan-Nya.
Kedua, sakramen Penguatan menghasilkan pertumbuhan dan pendalaman rahmat Pembaptisan, yaitu menjadikan kita anak-anak Allah dengan lebih sungguh, meneguhkan persatuan kita dengan Kristus, menambah karunia Roh Kudus, mengikat kita lebih sempurna dengan Gereja, dan menganugerahkan pada kita kekuatan Roh Kudus sehingga kita lebih berani menjadi saksi Kristus, dan membela iman dengan perkataan dan perbuatan.[6] Kesatuan dengan Kristus ini dapat mendorong kita untuk melakukan tugas-tugas apostolik, yang bertujuan untuk membangun Gereja.
Ketiga, seperti halnya Pembaptisan, sakramen Penguatan mengukir suatu tanda rohani yang tak terhapuskan sebagai suatu karakter dalam jiwa. Ini adalah tanda bahwa Kristus telah memeteraikan kita sebagai saksi-Nya dan memberikan pada kita kekuatan yang berasal dari-Nya.[7]
Keempat, karakter ini menyempurnakan imamat bersama yang diterima dalam Pembaptisan. Gereja menghendaki agar semua anggotanya disempurnakan oleh Roh Kudus dan dianugerahi dengan kepenuhan Kristus.[8] Imamat bersama ini mencapai puncaknya pada saat kita berpartisipasi di dalam perayaan Ekaristi, di mana Kristus hadir dengan segala kepenuhan-Nya. Itulah sebabnya sakramen Penguatan berkaitan erat tidak hanya dengan Pembaptisan tetapi juga dengan Ekaristi.

Sakramen Penguatan menurut para Bapa Gereja

1. Pada abad-abad awal, Sakramen Penguatan diberikan bersama-sama dengan Pembaptisan.[9] Ketiga sakramen, Pembaptisan, Penguatan dan Ekaristi diberikan pada saat seseorang memulai kehidupan sebagai seorang Kristen. Tertullian (155-222) mengatakan Pengurapan minyak diberikan setelah Pembaptisan. Pembasuhan tubuh oleh air mendatangkan akibat rohani, yaitu penghapusan dosa; dan pengurapan tubuh oleh minyak dan penumpangan tangan mendatangkan Roh Kudus.[10]
2. St. Teofilus dari Antiokhia (169-183), mengatakan bahwa kita disebut sebagai orang-orang Kristen sebab kita diurapi oleh minyak (krism) Tuhan.[11]
3. St. Cyril dari Jerusalem (313-386) memperingatkan bahwa minyak yang digunakan dalam sakramen Penguatan adalah bukan minyak biasa. Seperti halnya roti dan anggur yang setelah doa konsekrasi diubah menjadi Tubuh dan Darah Yesus, maka minyak itu setelah doa permohonan kepada Roh Kudus diubah manjadi karunia rahmat Kristus untuk menanamkan sifat Ilahi yang menguduskan jiwa kita oleh Roh Kudus.[12]
4. St. Jerome (347-420) mengajarkan bahwa penumpangan tangan setelah Pembaptisan dan doa permohonan kepada Roh Kudus merupakan Tradisi Gereja. Bukti alkitabiah dari Tradisi ini dapat dilihat dalam Kisah Para Rasul. Namun meskipun seandainya hal ini tidak didasari oleh Kitab Suci sekalipun, Tradisi ini sudah berakar di seluruh dunia, sehingga memiliki kekuatan sebagai perintah. Karena banyak peraturan Gereja yang bersumber pada Tradisi suci telah memperoleh kuasa dari hukum yang tertulis.[13]
5. St. Thomas Aquinas (1225-1274) mengutip Paus Melchiades mengatakan, bahwa Roh Kudus yang turun melalui air pada waktu Pembaptisan yang membawa keselamatan, menganugerahkan pembersihan dari dosa, tetapi dalam Penguatan, Ia menyampaikan penambahan rahmat. Di dalam Pembaptisan kita dilahirkan kembali, setelah Pembaptisan kita dikuatkan.[14] St. Thomas juga mengajarkan, “melalui Baptisan kita ditulis bagaikan surat rohani, dan melalui Penguatan, kita sebagai surat tertulis ditandatangani/ disahkan dengan tanda Salib. Maka pengesahan ini menjadi kuasa para uskup yang memegang kuasa tertinggi di dalam Gereja.”[15]

Pelaksanaan Sakramen Penguatan sepanjang sejarah Gereja

Kini, sering kita mendapati bahwa Sakramen Penguatan diberikan secara terpisah dari Pembaptisan, sehingga ketiga sakramen (Pembaptisan, Penguatan, Ekaristi) tidak diberikan sekaligus seperti pada abad-abad awal. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena prinsip pengajaran ‘quam primum‘, yaitu Pembaptisan harus dilakukan segera setelah kelahiran. St. Cyprian (250) mengajarkan “Pembaptisan yang memberikan rahmat penghapusan dosa tidak boleh ditunda.”[16] Juga hal serupa diajarkan oleh St. Augustinus (422), dalam pengajarannya tentang akibat dosa Adam yang membawa kematian, dan makna Pembaptisan yang menghapuskan segala dosa[17] dan karenanya membebaskan dari kematian kekal. Penerapan baptisan bayi/ anak-anak oleh para Rasul dapat dilihat pada baptisan Lydia dan Krispus beserta seluruh isi rumah mereka (lih. Kis 16:15; 18:8).
Penerapan baptisan bayi membawa dampak lebih lanjut. Karena pesatnya pertumbuhan umat Kristen sejak abad ke-4, maka diperlukan kesiap-sediaan para imam dan uskup untuk memberikan ketiga sakramen setiap waktu. Hal ini tentu saja tidak mudah, sehingga Gereja dihadapkan oleh dua pilihan: Pertama, ketiga sakramen diberikan sekaligus, namun Sakramen Penguatan dapat diberikan oleh imam, seperti yang diterapkan Gereja-gereja Timur; atau kedua, Sakramen Penguatan dapat diberikan terpisah dari Pembaptisan, karena hanya uskup yang dapat memberikan sakramen Penguatan. Surat bapa Paus Innocentius (416) memutuskan pilihan yang kedua.[18] Namun demikian, sampai abad ke-8 tetap diusahakan pemberian ketiga sakramen sekaligus, dan jika Sakramen Penguatan tidak diadakan segera setelah Pembaptisan karena uskup tidak dapat hadir, itu dianggap sebagai kelalaian.[19]
Jadi, meskipun pada abad ke-10, upacara ketiga sakramen diadakan sebagai satu perayaan, kita mengetahui bahwa pelaksanaannya tidak mudah. Pada abad ke-12 melalui Pontificale Guglielmi Durandi, diputuskan bahwa sakramen Penguatan dapat diberikan setelah Pembaptisan hanya jika uskup dapat hadir; sehingga dapat disimpulkan, jika tidak demikian, Penguatan diberikan terpisah dari Pembaptisan.[20]
Tingginya tingkat kematian bayi pada abad ke-13 mengakibatkan peningkatan jumlah Pembaptisan bayi. Uskup yang tidak bisa selalu hadir dalam pemberian ketiga sakramen inisiasi menyebabkan terpisahnya pelaksanaan Pembaptisan dari Penguatan, sehingga urutannya menjadi Pembaptisan, Ekaristi dan Penguatan.
Perkembangan penting lain yang menyebabkan pemisahan ketiga sakramen adalah pengajaran bahwa Komuni Kudus hanya dapat diberikan pada anak-anak yang telah mencapai usia akal sehat (‘the age of reason’), seperti yang dinyatakan oleh Konsili Lateran (1215).[21] Penundaan penerimaan Komuni pada anak-anak ini berkaitan dengan penghormatan terhadap Ekaristi, seperti yang diajarkan oleh Rasul Paulus (lih. 1 Kor 11:27). Penundaan Komuni Kudus kemudian mengakibatkan penundaan Penguatan (sampai usia 16 tahun), sehingga Penguatan dianggap sebagai sakramen orang dewasa.
Pemisahan sakramen Penguatan dari Pembaptisan ditetapkan oleh Konsili Lion (1274) dengan ditetapkannya ke-7 sakramen.[22] Paus Paulus V (1614) menegaskan kembali bahwa ketiga sakramen tidak perlu harus digabungkan di dalam satu perayaan. Pemisahan ini dimaksudkan untuk memberikan waktu persiapan yang layak bagi Sakramen Penguatan, dan memberi kesempatan kepada uskup untuk bertemu dengan mereka yang sudah dibaptis. Sayangnya, pemisahan ini sedikit banyak telah mengaburkan makna sakramen inisiasi, terutama makna sakramen Penguatan.
Melihat kenyataan ini, maka Vatikan II memberikan beberapa keputusan penting untuk menyatukan kembali ketiga sakramen inisiasi, yaitu: 1) Jika mungkin Pembaptisan diberikan di dalam perayaan Ekaristi, demikian juga Penguatan, atau setidaknya didahului oleh Liturgi Sabda[23]; 2) Ritus Penguatan direvisi[24] untuk menyatakan kaitan yang erat dengan Baptisan dan Ekaristi; Pembaharuan janji Baptis dan pernyataan iman diucapkan sebelum Penguatan; 3) Meskipun yang terbaik adalah uskup yang memberikan Sakramen Penguatan, namun jika kebutuhan meningkat, maka uskup dapat memberikan kuasa kepada para imam untuk tugas tersebut[25]; 4) Ditetapkannya Ritus Inisiasi bagi umat dewasa (RCIA= The Rite of Christian Initiation for Adults) yang memberikan acuan untuk proses inisiasi yang terpadu, dari persiapan katekumen, pemberian ketiga sakramen bagi umat dewasa, mystagogia, yang melibatkan umat pendukung (sponsor) dan umat lainnya untuk mendukung perjalanan iman para katekumen.

Sudahkah Sakramen Penguatan membawa efek pada kehidupan rohani kita?

Sakramen Penguatan seharusnya membawa dampak yang besar dalam kehidupan rohani kita. Namun kenyataannya, banyak dari yang sudah menerima Sakramen ini masih merasa ‘belum dewasa’ di dalam iman, atau belum sungguh bertumbuh di dalam iman. Bukan berarti bahwa tidak ada Roh Kudus pada orang-orang tersebut, karena melalui Pembaptisan dan Penguatan, Roh Kudus sudah hadir dan siap berkarya di dalam hidup mereka, hanya saja sikap kesiapan hati pada saat penerimaan sakramen juga adalah sangat penting[26] agar seseorang dapat menerima kelimpahan buah-buahnya. Jadi terdapat kemungkinan, karunia Roh Kudus yang diterima pada sakramen Penguatan baru dapat berdayaguna beberapa waktu sesudah penerimaan sakramen, misalnya setelah melalui doa-doa pribadi, setelah sekian lama mengikuti Misa Kudus, dan setelah mengikuti kegiatan-kegiatan rohani Gereja.

Apa tandanya kedewasaan iman dalam Kristus?

Ada beberapa tanda kedewasaan iman dalam Kristus, yang dimungkinkan oleh karunia Roh Kudus. Pertama ialah jika kita dapat memusatkan perhatian kepada Kristus, dan bukan kepada diri sendiri. Secara praktis kita melihat contoh yang nyata pada anak-anak kecil yang sampai umur tertentu menginginkan dirinya terus menjadi pusat perhatian. Namun semakin besar, sifatnya (seharusnya) berubah, dan dapat memperhatikan orang lain. Dalam ibadah dan doa-doa kita, kita-pun dapat melihat gejala serupa. Jika kita belum dewasa dalam iman, doa-doa kita didominasi oleh doa permohonan yang berpusat pada kebutuhan kita, seperti, minta rejeki, kesehatan, dll. Namun jika kita terus bertumbuh, maka doa kita berkembang menjadi ucapan syukur dan pujian penyembahan kepada Tuhan. Kita mulai dapat mengasihi Sang Pemberi berkat dan bukannya mengasihi berkat-berkat-Nya. Bukan berarti bahwa kita tidak boleh memohon berkat pada Tuhan, tetapi seharusnya kita memusatkan perhatian kepada Tuhan terlebih dahulu, sebab yang lain akan diberikan kepada kita kemudian. Dengan ini kita memenuhi kehendak Tuhan yang berkata, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Mat 6:33)
Tanda kedewasaan iman yang kedua adalah kesediaan kita untuk memberikan diri kita untuk pekerjaan-pekerjaan Allah di dunia. Dengan perkataan lain, kita mau melayani daripada dilayani. Bukankah hal ini juga sangat nyata dalam kehidupan seorang anak? Anak kecil minta dilayani, tetapi yang sudah besar dapat melayani anggota keluarga yang sedang membutuhkan bantuan. Jadi, dalam kegiatan di Gereja dan masyarakat misalnya, kita tidak menuntut orang lain untuk memperhatikan, melayani, dan menghormati kita; melainkan kita terdorong untuk membantu dan melayani orang lain. Karena itu, selayaknya kita tidak berkomentar, “Aku tidak senang ke gereja Katolik, karena di gereja aku tidak mendapat perhatian…” Walaupun tentu sebagai umat seharusnya kita saling memperhatikan satu sama lain, namun jangan sampai kita lupa bahwa tujuan utama kita beribadah di gereja adalah untuk bersyukur kepada Tuhan dan bersekutu dengan-Nya. Baru kemudian, langkah berikutnya adalah, apa yang dapat kulakukan agar dapat turut meningkatkan keakraban umat.
Melayani Tuhan juga berarti mau menjalankan tugas mewartakan Injil (lih. Mat 28:19-20). Hal ini dapat kita lakukan dengan perkataan, tetapi terlebih lagi dengan perbuatan. Sudah menjadi misi Kristus untuk menyelamatkan semua manusia, maka jika kita sungguh mengasihi Kristus kita akan turut mengambil bagian dalam misi-Nya tersebut, yang juga menjadi misi Gereja. Dengan perkataan lain, kita tidak hanya menjadi pengikut Kristus, tetapi menjadi murid Kristus.
Tanda ketiga adalah kita tidak mudah bertengkar dengan sesama, terutama dengan sesama umat. Rasul Paulus menunjukkan hal ini dengan begitu jelas dalam suratnya kepada jemaat di Filipi. Timotius diutus oleh Rasul Paulus untuk membacakan pesannya kepada jemaat di sana, yang berisi nasihat supaya bersatu dan merendahkan diri seperti Kristus (Fil 2:1-11), untuk menghindari segala bentuk perselisihan. Secara khusus ia menyebut nama dua orang wanita yang bertengkar, Euodia dan Sintikhe (Fil 4:2) dan menasihati supaya mereka berhenti berselisih dan menjadi sehati sepikir dalam Tuhan. Jika kita memiliki pengalaman berselisih dengan sesama umat di gereja, bayangkanlah jika nama kita yang disebutkan di sana!
Keempat, kita bertumbuh di dalam iman jika kita mau dengan hati lapang memikul salib yang Tuhan izinkan terjadi di dalam kehidupan kita, dengan harapan akan kebangkitan bersama Kristus. Hal ini bertentangan dengan keinginan dunia. Banyak orang cenderung menyukai ajaran teori ‘kemakmuran’ jika mengikuti Yesus, daripada harus berjuang memikul salib bersama Yesus, untuk dapat bangkit bersama Dia. Pendeknya, ingin mencapai kebangkitan tanpa salib. Namun, melalui Kitab Suci, kita dapat melihat dengan jelas, bahwa ajaran Tuhan bukanlah demikian. Yesus mengatakan, “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku” (Mat 16:24). Artinya, dengan rahmat Tuhan, kita harus berjuang untuk meninggalkan dosa dan segala keakuan kita, serta mengambil bagian dalam penderitaan Kristus untuk dapat mencapai kebahagiaan bersama-Nya (lih. Rom 6:5-11; 1 Pet 4:13). Bersama Kristus dan semua anggota Gereja-Nya, kita dipanggil untuk menjadi rekan sekerja Allah, (lih. 1 Kor 3:9) dengan mempersembahkan segala penderitaan kita untuk dipersatukan dengan kurban Kristus, agar mendatangkan keselamatan bagi orang-orang yang kita kasihi, dan untuk seluruh dunia.
Terakhir, tanda kedewasaan iman adalah jika kita mau mengikuti seluruh ajaran dan kehendak Tuhan dan tidak memilih-milih dan menyesuaikan dengan kehendak kita sendiri. Artinya, jangan sampai ajaran yang mudah kita terima, tetapi ajaran yang sukar dan membutuhkan pengorbanan, kita tolak, seperti ajaran mengampuni orang yang menyakitkan hati, mengasihi dan mendoakan orang yang membenci kita, larangan korupsi, dst. Jika kita bertindak demikian, kita belum sungguh dewasa dalam iman.
Memang, kelima tanda ini merupakan perjuangan bagi setiap kita. Kita tidak perlu berkecil hati jika belum secara sempurna mempraktekkannya. Yang terpenting adalah kita terus berjuang supaya semakin hari kita semakin dapat menjadikan kelima tanda ini bagian dari hidup kita.

Kesimpulan

Kita patut bersyukur karena Sakramen Penguatan yang kita terima, karena dengan sakramen ini kita dikuatkan oleh Roh Kudus untuk bertumbuh dewasa di dalam iman. Pengurapan Roh Kudus ini seharusnya mengobarkan kasih kita kepada Yesus Kristus, yang menjadikan kita hidup sesuai martabat kita sebagai anak-anak Allah, berani menjadi saksi-Nya, dan mengambil peran dalam tugas-tugas perutusan Gereja. Marilah kita mohon pada Tuhan untuk menjadikan kita anggota-anggota Kristus yang hidup, yang mengandalkan Tuhan dalam pergumulan kita untuk mengalahkan keinginan berbuat dosa, untuk menerima dengan iman, salib yang Tuhan ijinkan terjadi dalam kehidupan kita, dan perjuangan untuk mencapai segala sesuatu yang sesuai dengan kehendak-Nya. Semoga doa ini selalu bergema di dalam hati kita, “Datanglah Roh Kudus, penuhilah hati umat-Mu. Nyalakanlah api cinta-Mu di dalam hati kami. Utuslah Roh-Mu, ya Tuhan, dan kami semua akan diperbaharui dan Engkau akan memperbaharui seluruh muka bumi.”

Indah dan Dalamnya Makna Sakramen Perkawinan

 

Pendahuluan

Teman kuliah sekelas saya ada yang lulusan sekolah pendeta, sebelum menjadi seorang Katolik. Ketika saya bertanya apa yang membuatnya menjadi Katolik, dia menjawab, “…. many things, but I should say, first and foremost, is the Church teaching regarding Marriage” (Banyak hal, namun yang terutama, adalah ajaran Gereja tentang Perkawinan). Ia adalah satu dari banyak orang -termasuk di antaranya adalah Kimberly dan Scott Hahn- yang melihat kebenaran ajaran Gereja Katolik melalui pengajaran hal Perkawinan.
Ini adalah sesuatu yang layak kita renungkan, karena sebagai orang Katolik, kita mungkin pernah mendengar ada orang mempertanyakan, mengapa Gereja Katolik menentang perceraian, aborsi dan kontrasepsi, mengapa Gereja umumnya tidak dapat memberikan sakramen Perkawinan (lagi) kepada wanita dan pria yang sudah pernah menerima sakramen Perkawinan sebelumnya, atau singkatnya, mengapa disiplin mengenai perkawinan begitu ‘keras’ di dalam Gereja Katolik. Agar kita dapat memahaminya, mari bersama kita melihat bagaimana Tuhan menghendaki Perkawinan sebagai persatuan antara suami dan istri, dan sebagai tanda perjanjian ilahi bahwa Ia menyertai umat-Nya.

Sakramen Perkawinan menurut Kitab Suci

Dari awal penciptaan dunia, Allah menciptakan manusia pertama, laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa), menurut citra Allah (Kej 1:26-27). Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam agar laki-laki itu mendapatkan teman ‘penolong’ yang sepadan dengannya (Kej 2:20), sehingga mereka akhirnya dapat bersatu menjadi satu ‘daging’ (Kej 2:24). Jadi persatuan laki-laki dan perempuan telah direncanakan oleh Allah sejak awal mula, sesuai dengan perintahnya kepada mereka, “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu….” (Kej 1:28).
Walaupun dalam Perjanjian Lama perkawinan monogami (satu suami dan satu istri) tidak selalu diterapkan karena kelemahan manusia, kita dapat melihat bahwa perkawinan monogami adalah yang dimaksudkan Allah bagi manusia sejak semula. Hal ini ditegaskan kembali oleh pengajaran Yesus, yaitu: “Laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga menjadi satu daging (Mat 19:5), dan bahwa laki-laki dan perempuan yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (lih. Mat 19:5-6, Mrk 10:7-9). Yesus menegaskan surat cerai pada jaman Perjanjian Lama itu diizinkan oleh nabi Musa karena ketegaran hati umat Israel, namun tidak demikian yang menjadi rencana Allah pada awalnya (Mat 19:8).
Jadi, perkawinan antara pria dan wanita berkaitan dengan penciptaan manusia menurut citra Allah. Allah adalah Kasih (1 Yoh 4:8,16), dan karena kasih yang sempurna tidak pernah ditujukan pada diri sendiri melainkan pada pribadi yang lain, maka kita mengenal Allah yang tidak terisolasi sendiri, melainkan Allah Esa yang merupakan komunitas Tiga Pribadi, Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus (Trinitas). Kasih yang timbal balik, setia, dan total tanpa batas antara Allah Bapa dengan Yesus Sang Putera ‘menghasilkan’ Roh Kudus. Walaupun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa hubungan antara Allah Bapa dan Putera itu seperti hubungan suami dengan istri. Kasih di dalam diri Trinitas merupakan misteri yang dalamnya tak terselami, namun misteri ini direncanakan Allah untuk digambarkan dalam hubungan suami dan istri, agar dunia dapat sedikit menyelami misteri kasih-Nya. Maksudnya adalah, manusia diciptakan sesuai gambaran Allah sendiri untuk dapat menggambarkan kasih Allah itu.
Kasih Allah, yang terlihat jelas dalam diri Trinitas, adalah kasih yang bebas (tak ada paksaan), setia, menyeluruh/ total, dan menghasilkan buah. Lihatlah Yesus, yang mengasihi Bapa dengan kasih tak terbatas, atas kehendak bebas-Nya menjelma menjadi manusia, wafat di salib untuk melaksanakan rencana Bapa menyelamatkan manusia. Allah Bapa mengasihi Yesus dengan menyertaiNya dan memuliakan-Nya; dan setelah Yesus naik ke surga, Allah Bapa dan Yesus mengutus Roh KudusNya. Kasih inilah yang direncanakan Allah untuk digambarkan oleh kasih manusia, secara khusus di dalam perkawinan antara laki-laki dan perempuan.
Perkawinan juga direncanakan Allah sebagai gambaran akan hubungan kasih-Nya dengan umat-Nya. Pada Perjanjian Lama, kita dapat membaca bagaimana Allah menjadikan Yerusalem (bangsa Israel) sebagai istri-Nya (Yeh 16:3-14; Yes 54:6-dst; 62:4-dst; Yer 2:2; Hos 2:19; Kid 1-dst) untuk menggambarkan kesetiaanNya kepada umat manusia.
Pada Perjanjian Baru, Yesus sendiri menyempurnakan nilai perkawinan ini dengan mengangkatnya menjadi gambaran akan hubungan kasih-Nya kepada Gereja-Nya (Ef 5:32). Ia sendiri mengasihi Gereja-Nya dengan menyerahkan nyawa-Nya baginya untuk menguduskannya (Ef 5:25). Maka para suami dipanggil untuk mengasihi, berkorban dan menguduskan istrinya, sesuai dengan teladan yang diberikan oleh Yesus kepada Gereja-Nya; dan para istri dipanggil untuk menaati suaminya yang disebut sebagai ‘kepala istri’ (Ef 5:23), seperti Gereja sebagai anggota Tubuh Kristus dipanggil untuk taat kepada Kristus, Sang Kepala.
Kesatuan antara Kristus dan Gereja-Nya ini menjadi inti dari setiap sakramen karena sakramen pada dasarnya membawa manusia ke dalam persatuan yang mendalam dengan Allah. Puncak persatuan kita dengan Allah di dunia ini dicapai melalui Ekaristi, saat kita menyambut Kristus sendiri, bersatu denganNya menjadi ’satu daging’. Pemahaman arti Perkawinan dan kesatuan antara Allah dan manusia ini menjadi sangat penting, karena dengan demikian kita dapat semakin menghayati iman kita.
Melihat keagungan makna perkawinan ini tidaklah berarti bahwa semua orang dipanggil untuk hidup menikah. Kehidupan selibat demi Kerajaan Allah bahkan merupakan kesempurnaan perwujudan gambaran kasih Allah yang bebas, setia, total dan menghasilkan banyak buah (lih Mat 19:12,29). Oleh kehendak bebasnya, mereka menunjukkan kesetiaan dan pengorbanan mereka yang total kepada Allah, sehingga dihasilkanlah banyak buah, yaitu semakin bertambahnya anak-anak angkat Allah yang tergabung di dalam Gereja melalui Pembaptisan, dan tumbuh berkembangnya mereka melalui sakramen-sakramen dan pengajaran Gereja.
Akhirnya, akhir jaman-pun digambarkan sebagai “perjamuan kawin Anak Domba” (Why 19:7-9). Artinya, tujuan akhir hidup manusia adalah persatuan dengan Tuhan. Misteri persatuan ini disingkapkan sedemikian oleh Sakramen Perkawinan, yang membawa dua akibat: pertama, agar kita semakin mengagumi kasih Allah dan memperoleh gambaran akan kasih Allah Tritunggal, dan kedua, agar kita mengambil bagian dalam perwujudan kasih Allah itu, seturut dengan panggilan hidup kita masing-masing.

Makna Sakramen Perkawinan

Melihat dasar Alkitabiah ini maka sakramen Perkawinan dapat diartikan sebagai persatuan antara pria dan wanita yang terikat hukum untuk hidup bersama seumur hidup.[1] Katekismus Gereja Katolik menegaskan persatuan seumur hidup antara pria dan wanita yang telah dibaptis ini, sifatnya terarah pada kesejahteraan suami-istri, pada kelahiran dan pendidikan anak.[2] Hal ini berkaitan dengan gambaran kasih Allah yang bebas (tanpa paksaan), setia, menyeluruh dan ‘berbuah’.
Hubungan kasih ini menjadikan pria dan wanita menjadi ‘karunia‘ satu bagi yang lainnya, yang secara mendalam diwujudkan di dalam hubungan suami-istri. Jadi, jika dalam Pembaptisan, rahmat Tuhan dinyatakan dengan air, atau Penguatan dengan pengurapan minyak, namun di dalam Perkawinan, rahmat Tuhan dinyatakan dengan pasangan itu sendiri. Artinya, bagi istri, suami adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan, dan bagi suami, istri adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan. Tuhan menghendaki perkawinan yang sedemikian sejak masa penciptaan, dengan memberikan rasa ketertarikan antara pria dan wanita, yang harus diwujudkan di dalam kesetiaan yang terpisahkan seumur hidup; untuk menggambarkan kesetiaan kasih Allah yang tak terpisahkan dengan manusia, seperti ditunjukkan dengan sempurna oleh Kristus dan Gereja-Nya sebagai mempelai-Nya. Karena itu harusnya setiap hari pasangan suami istri selalu merenungkan, “Sudahkah hari ini aku menjadi tanda kasih Tuhan kepada istriku (suamiku)?” Sebab panggilan suami dan istri adalah untuk saling mengasihi dan memberi, sebagai karunia dan tanda kehadiran Tuhan, satu sama lain.
Sakramen Perkawinan juga mengangkat hubungan kasih antara suami dengan istri, untuk mengambil bagian di dalam salah satu perbuatan Tuhan yang ajaib, yaitu penciptaan manusia. Dengan demikian, persatuan suami dengan istri menjadi tanda akan kehadiran Allah sendiri, jika di dalam persatuan itu mereka bekerjasama dengan Tuhan untuk mendatangkan kehidupan bagi manusia yang baru, yang tubuh dan jiwanya diciptakan atas kehendak Allah. Dalam hal ini penciptaan manusia berbeda dengan hewan dan tumbuhan, karena hanya manusia yang diciptakan Tuhan seturut kehendakNya dengan mengaruniakan jiwa yang kekal (‘immortal’). Sedangkan hewan dan tumbuhan tidak mempunyai jiwa. Jadi peran serta manusia dalam penciptaan manusia baru adalah merupakan partisipasi yang sangat luhur, karena dapat mendatangkan jiwa manusia yang baru, yang diinginkan oleh Allah.
Kemudian, setelah kelahiran anak, sang suami dan istri menjalankan peran sebagai orang tua, untuk memelihara dan mendidik anak mereka. Dengan demikian mereka menjadi gambaran terbatas dari kasih Tuhan yang tak terbatas: dalam hal pemeliharaan/ pengasuhan (God’s maternity) dan pendidikan/ pengaturan (God’s paternity) terhadap manusia. Di sini kita lihat betapa Allah menciptakan manusia sungguh-sungguh sesuai dengan citra-Nya. Selain diciptakan sebagai mahluk spiritual yang berkehendak bebas, dan karena itu merupakan mahluk tertinggi dibandingkan dengan hewan dan tumbuhan,  selanjutnya, manusia dikehendaki Allah untuk ikut ambil bagian di dalam pekerjaan tangan-Nya, yaitu: penciptaan, pemeliharaan dan pengaturan manusia yang lain.
Setiap kali kita merenungkan dalamnya arti Perkawinan sebagai gambaran kasih Allah sendiri, kita perlu bersyukur dan tertunduk kagum. Begitu dalamnya kasih Allah pada kita manusia, betapa tak terukurnya rencanaNya bagi kita. Melalui Perkawinan kita dibawa untuk memahami misteri kasih-Nya, dan mengambil bagian di dalam misteri itu. Di dalam Perkawinan kita belajar dari Kristus, untuk memberikan diri kita (self-giving) kepada orang lain, yaitu kepada pasangan kita dan anak-anak yang dipercayakan kepada kita. Dengan demikian, kita menemukan arti hidup kita, dan tak dapat dipungkiri, inilah yang disebut ‘kebahagiaan’.

Syarat Perkawinan Katolik yang sah

Sebelum mencapai kebahagiaan perkawinan, perlulah kita ketahui beberapa syarat untuk menjadikan Perkawinan sebagai perjanjian yang sah, baru kemudian kita melihat apa yang menjadi ciri-cirinya.
Syarat pertama Perkawinan Katolik yang sah adalah perjanjian Perkawinan yang diikat oleh seorang pria dan wanita yang telah dibaptis, dan kesepakatan ini dibuat dengan bebas dan sukarela, dalam arti tidak ada paksaan, dan tidak dihalangi oleh hukum kodrat atau Gereja.[3] Kesepakatan kedua mempelai ini merupakan syarat mutlak untuk perjanjian Perkawinan; sebab jika kesepakatan ini tidak ada, maka tidak ada perkawinan.[4] Kesepakatan di sini berarti tindakan manusiawi untuk saling menyerahkan diri dan menerima pasangan, dan kesepakatan ini harus bebas dari paksaan atau rasa takut yang hebat yang datang dari luar.[5] Jika kebebasan ini tidak ada, maka perkawinan dikatakan tidak sah.
Syarat kedua adalah kesepakatan ini diajukan dan diterima oleh imam atau diakon yang bertugas atas nama Gereja untuk memimpin upacara Perkawinan dan untuk memberi berkat Gereja. Oleh karena kesatuan mempelai dengan Gereja ini, maka sakramen Perkawinan diadakan di dalam liturgi resmi Gereja, dan setelah diresmikan pasangan tersebut masuk ke dalam status Gereja, yang terikat dengan hak dan kewajiban suami istri dan terhadap anak-anak di dalam Gereja. Juga dalam peresmian Perkawinan, kehadiran para saksi adalah mutlak perlu.[6]
Syarat ketiga adalah, mengingat pentingnya kesepakatan yang bebas dan bertanggung jawab, maka perjanjian Perawinan ini harus didahului oleh persiapan menjelang Perkawinan.[7] Persiapan ini mencakup pengajaran tentang martabat kasih suami-istri, tentang peran masing-masing dan pelaksanaannya.
Beberapa syarat penting di atas, terutama syarat pertama, mendasari pihak Gereja menentukan suatu sah atau tidaknya perkawinan. Lebih lanjut tentang sah atau tidaknya perkawinan, pembatalan perkawinan (‘annulment‘) dan mengenai perkawinan campur (antara pasangan yang berbeda agama) akan dibahas pada artikel yang terpisah.

Ciri-ciri Perkawinan Katolik

Sebagai penggambaran persatuan ilahi antara Kristus dengan Gereja-Nya, Perkawinan Katolik mempunyai tiga ciri yang khas, yaitu (1) ikatan yang terus berlangsung seumur hidup, (2) ikatan monogami, yaitu satu suami, dan satu istri, dan (3) ikatan yang tidak terceraikan.[8] Sifat terakhir inilah yang menjadi ciri utama perkawinan Katolik. Di dalam ikatan Perkawinan ini, suami dan istri yang telah dibaptis menyatakan kesepakatan mereka, untuk saling memberi dan saling menerima, dan Allah sendiri memeteraikan kesepakatan ini. Perjanjian suami istri ini digabungkan dengan perjanjian Allah dengan manusia, dan karena itu cinta kasih suami istri diangkat ke dalam cinta kasih Ilahi.[9] Atas dasar inilah, maka Perkawinan Katolik yang sudah diresmikan dan dilaksanakan tidak dapat diceraikan. Ikatan perkawinan yang diperoleh dari keputusan bebas suami istri, dan telah dilaksanakan, tidak dapat ditarik kembali. Gereja tidak berkuasa untuk mengubah penetapan kebijaksanaan Allah ini.[10]
Karena janji penyertaan Allah ini, dari ikatan perkawinan tercurahlah juga berkat-berkat Tuhan yang juga menjadi persyaratan perkawinan, yaitu berkat untuk menjadikan perkawinan tak terceraikan, berkat kesetiaan untuk saling memberikan diri seutuhnya, dan berkat keterbukaan terhadap kesuburan akan kelahiran keturunan.[11] Kristus-lah sumber rahmat dan berkat ini. Yesus sendiri, melalui sakramen Perkawinan, menyambut pasangan suami istri. Ia tinggal bersama-sama mereka untuk memberi kekuatan di saat-saat yang sulit, untuk memanggul salib, bangun setelah jatuh, saling mengasihi dan mengampuni.
Maka, apa yang dianggap mustahil oleh dunia, yaitu setia seumur hidup kepada seorang manusia, menjadi mungkin di dalam Perkawinan yang mengikutsertakan Allah sebagai pemersatu. Ini merupakan kesaksian Kabar Gembira yang terpenting akan kasih Allah yang tetap kepada manusia, dan bahwa para suami dan istri mengambil bagian di dalam kasih ini. Betapa kita sendiri menyaksikan bahwa mereka yang mengandalkan Tuhan dalam perjuangan untuk saling setia di tengah kesulitan dan cobaan, sungguh menerima penyertaan dan pertolonganNya pada waktunya. Hanya kita patut bertanya, sudahkah kita mengandalkan Dia?

Sakramen Perkawinan menurut para Bapa Gereja

Ajaran para Bapa Gereja mendasari pengajaran Gereja tentang Perkawinan. Sejak jaman Kristen awal, Perkawinan merupakan gambaran dari kasih Kristus kepada GerejaNya, sehingga ia bersifat seumur hidup, monogami, dan tak terceraikan.
1. St. Ignatius dari Antiokhia (35-110), dalam suratnya kepada St. Polycarpus, mengajarkan kesetiaan antara suami istri, dan bahwa suami harus mengasihi istrinya seperti Tuhan Yesus mengasihi Gereja-Nya.[12] Perkawinan sebagai lambang persatuan antara Kristus dan Gereja ditekankan kembali oleh St. Leo Agung (440-461).
2. Tertullian (155-222) mengajarkan bahwa perkawinan yang diberkati Tuhan dapat menjadi perkawinan yang berhasil, meskipun menghadapi kesulitan dan tantangan, sebab perkawinan tersebut telah menerima dukungan rahmat ilahi.[13] “Bagaimana saya mau melukiskan kebahagiaan Perkawinan, yang dipersatukan oleh Gereja, dikukuhkan dengan persembahan, dimeteraikan dengan berkat, diwartakan oleh para malaikat dan disahkan oleh Bapa?….” Pasangan itu mempunyai satu harapan, satu cara hidup, satu pengabdian. Mereka yang adalah anak-anak dari satu Bapa, dan satu Tuhan. Mereka tak terpisahkan dalam jiwa dan raga, sebab mereka menjadi satu daging dan satu roh.[14] Karena persatuan ini, maka seseorang tidak dapat menikah lagi selagi pasangan terdahulu masih hidup, sebab jika demikian ia berzinah.
3. St. Clemens dari Alexandria (150-216), mengajarkan maksud ajaran Yesus pada ayat Mat 5:32, 19:9, “Setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah…” Zinah di sini artinya adalah perkawinan antara mereka yang sudah pernah menikah namun bercerai, padahal pasangannya yang terdahulu itu belum meninggal.[15] (Jadi, dalam hal ini, Yesus mengakui perkawinan yang pertama sebagai yang sah, dan perkawinan kedua itulah yang harusnya diceraikan agar pihak yang pernah menikah secara sah dapat kembali kepada pasangan terdahulu).
4. The Shepherd of Hermas (karya umat Kristen abad ke-2 yang dipandang sejajar dalam Tradisi Suci), mengajarkan jika seorang suami mendapati istrinya berzinah, dan istrinya itu tidak bertobat, maka sang suami dapat berpisah dengan istrinya, namun suami itu tidak boleh menikah lagi. Jika ia menikah lagi, maka ia sendiri berzinah.
5. Athenagoras (133-190) dan St. Theophilus dari Antiokia(169-183), keduanya mengajarkan monogami, bahwa seseorang harus menikah hanya sekali, karena ini yang dikehendaki Allah yang pada awalnya telah menciptakan seorang pria dan seorang wanita, dan yang menciptakan persatuan daging dengan daging untuk membentuk bangsa umat manusia.[16]
6. Origen (185-254) mengajarkan bahwa Tuhanlah yang mempersatukan sehingga suami dan istri bukan lagi dua melainkan ’satu daging’. Pada mereka yang telah dipersatukan Allah terdapat ‘karunia’, sehingga Perkawinan menurut Sabda Tuhan adalah ‘karunia’, sama seperti kehidupan selibat adalah karunia.[17]
7. St. Yohanes Krisostomus (347-407), menjelaskan bahwa di dalam ayat, “Apa yang telah dipersatukan Tuhan, janganlah diceraikan manusia” (Mat 19:6), artinya adalah bahwa seorang suami haruslah tinggal dengan istrinya selamanya, dan jangan meninggalkan atau memutuskan dia.[18]
8. St. Agustinus (354-430), berkat Perkawinan adalah: keturunan, kesetiaan, ikatan sakramen. Ikatan sakramen ini sifatnya tetap selamanya, yang tidak dapat dihilangkan oleh perceraian atau zinah, maka harus dijaga oleh suami dan istri dengan sikap bahu-membahu dan dengan kemurnian.[19]

Kesimpulan

Sejak awal mula Allah menghendaki persatuan antara pria dan wanita, yang diwujudkan secara mendalam di dalam Perkawinan. Perkawinan ini dimaksudkan Allah untuk menggambarkan kasih-Nya, yaitu kasih dalam kehidupan-Nya sendiri sebagai Allah Tritunggal, dan kasih-Nya kepada manusia yang tak pernah berubah. Keluhuran Perkawinan juga dinyatakan oleh Kristus, yang mengangkat nilai Perkawinan dengan menjadikannya gambaran akan kasih-Nya kepada Gereja-Nya. Karena itu Perkawinan Katolik bersifat tetap seumur hidup, setia, monogami, dan terbuka terhadap kelahiran baru. Dengan memiliki ciri-ciri yang demikian, Perkawinan merupakan ’sakramen’, yaitu tanda kehadiran Allah di dunia, sebab sesungguhnya Allah menggabungkan kasih suami istri dengan kasihNya sendiri kepada umat manusia. Jadi tepat jika dikatakan bahwa sakramen Perkawinan melibatkan tiga pihak, yaitu, suami, istri dan di atas segalanya, Kristus sendiri. “Marriage takes three to make a go… and when Christ is at the center, it will prevail until the end, and even now on earth, receive a foretaste of the wedding feast of the Lamb!”

Sumber : http://katolisitas.org/2008/08/14/indah-dan-dalamnya-makna-sakramen-perkawinan-katolik/